Chapter 131 - Hujan di Musim Dingin

72 4 0
                                    

Odette keluar dari wawancara dengan senyum lebar di wajahnya. Sangat berbeda dari saat dia pertama kali datang dan menekan bel pintu, penuh kegelisahan dan kekhawatiran. Langkah pertama telah diambil, dan sementara dia melamun tentang prospek di depannya, tak menyadari bahwa dirinya telah melangkah ke jalan.

Pemilik penginapan yang ketat telah menyarankan bahwa dia mengenal seseorang yang ingin putrinya belajar piano. Hambatan satu-satunya adalah meyakinkan sang ibu, yang tampak agak angkuh. Namun, pada akhir wawancara, Odette yakin bahwa ibu tersebut sudah memutuskan saat dia bertanya seberapa sibuk Odette dalam beberapa minggu ke depan.

Dengan langkah penuh semangat, Odette berjalan menuju pusat kota. Hari itu terasa istimewa, bahkan cuaca mendung tak mampu mengurangi keceriaannya. Hatinya dipenuhi mimpi untuk menetap di kota kecil di selatan yang hangat.

Dia berjalan melewati jalan-jalan yang dihiasi dekorasi meriah, mengagumi apa yang terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Dia membeli beberapa kebutuhan pokok, dan sebuah koin emas sebagai pembelian impulsif. Meski tahu tidak punya cukup uang untuk berbelanja mewah, tetapi dia ingin merayakan keberhasilannya.

Anak macam apa kau ini? pikirnya sambil tersenyum. Sambil berjalan riang menuju halte trem, tas berisi apel segar yang baru dibelinya berayun-ayun di tangannya.

Bayi yang sedang dikandungnya terasa seperti akan tumbuh menjadi anak yang kuat, mengingat cobaan yang telah dilaluinya. Bayi itu jelas tidak meniru dirinya, menginginkan makanan yang sebenarnya tidak dia sukai, tapi tetap dimakan juga. Wajah Bastian tiba-tiba muncul dalam bayang-bayang pikirannya, mengambil bentuk di balik kabut napasnya. Odette berhenti dan menghela napas. Pada akhirnya, akan tiba hari ketika anak itu akan bertanya tentang ayahnya.

Odette sama sekali tidak tahu apa yang akan dia katakan. Pada akhirnya, dia mendorong pikiran itu ke sudut pikirannya. Hari itu masih jauh, dan ada hal-hal yang lebih mendesak yang perlu dikhawatirkannya sekarang. Untuk saat ini, dia harus puas hidup di masa kini dan berharap jawaban akan datang seiring berjalannya waktu.

Mungkin karena dia sedang memikirkan Bastian, Odette sempat merasa seolah melihatnya berdiri di depan kios tembakau. Ketika dia melihat lagi, tidak ada yang berubah, tetapi wajah Bastian benar-benar terlihat di koran yang dipajang di kios itu.

"Pahlawan Laut Utara Kalah dalam Perebutan Kereta Api dari Ayahnya."

Judul itu terbaca dalam teks besar dan tebal di atas foto Bastian. Butuh beberapa saat bagi Odette untuk menyadari bahwa dia sudah berjalan menuju tempat koran itu berada.

Itu adalah artikel mendetail tentang upaya Bastian untuk memenangkan kontrak dari pemerintah Felia untuk mengelola jalur kereta api mereka. Bastian telah berjuang dalam pertarungan panjang dan sulit dengan ayahnya, Jeff Klauswitz, dan pada akhirnya kalah.

"He, Nona! Jangan coba-coba baca gratis, bayar atau pergi!" pemilik kios berteriak dari pintu. Odette menggelengkan kepala, setengah tersadar, lalu meletakkan koran yang sedang dipegangnya.

“...Maaf.”

Odette berhasil berbicara dengan susah payah, gemetar mulai terasa di ujung jari-jarinya. Pengumuman lelang telah dibuat pagi ini, yang dihadiri oleh pihak-pihak terkait secara langsung.

Dia ada di sini?

Kesadaran itu menyambar Odette seperti petir. Dia segera menjauh dari kios, hampir seperti melarikan diri. Nalurinya menyuruhnya untuk pulang secepat mungkin, mengunci diri sampai dia tahu didirinya aman.

Namun, kakinya berpikir lain. Mereka terasa seperti pemberat yang menolak untuk mematuhinya. Dengan usaha, dia memaksakan dirinya menuju halte trem, berdesak-desakan melalui kerumunan sebaik mungkin. Dunia terasa seperti tenggelam dalam air, dan dia berjuang untuk tetap berdiri.

Bastian - OdetteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang