Chapter 180 - Sampai Titik Akhir

76 4 0
                                    

Begitu ketiga anak itu tiba, tawa dan obrolan langsung memenuhi rumah yang tadinya sunyi.

Bastian mengamati kekacauan yang terbentuk dengan cepat. Itu sedikit mengingatkannya pada medan perang, dengan seberapa cepat segala sesuatunya bisa berubah. Dua anak lelaki itu berlarian di seluruh rumah seperti anak kuda yang gelisah dan dalam waktu kurang dari satu jam, rumah sudah berantakan. Karpet-karpet dipenuhi kotoran, lemari dan laci diacak-acak isinya ketika mereka menjelajahi rumah dengan rasa ingin tahu yang tak terpuaskan. Yang paling buruk, anak bungsu selalu menangis setiap kali melihat Bastian.

“Ini tidak bisa dibiarkan,” kata Odette sambil menenangkan anak di pelukannya. Odette tetap tenang, mengejutkan di tengah semua kekacauan ini.

Kedua anak lelaki itu kembali ke kegiatan favorit mereka—berdebat dan bergulat di lantai. Mereka berebut mainan di atas karpet, seperti dua musang yang bertarung.

“Bisakah kau bawa mereka keluar?” kata Odette kepada Bastian sambil melewati kedua bocah itu.

“Kemana?” tanya Bastian dengan wajah bingung. Si bungsu menatapnya dan mulai menangis lagi.

“Huweee...” tangisnya, sambil mengulurkan tangan kecilnya dan menunjuk ke arah Bastian.

“Singa,” kata Odette segera sambil mencoba menenangkan anak itu, memeluknya erat.

“Apa maksudnya?”

“Dia bilang kau terlihat seperti singa, dan itu membuatnya takut,” kata Odette sambil terkekeh. Anak bungsu yang pemalu itu takut pada pria tinggi yang asing baginya.

“Bawa dua yang lain keluar, lempar bola atau main air, apapun. Aku akan menjaga yang satu ini,” lanjut Odette, menunjuk ke arah sungai di luar jendela. “Cepatlah, Bastian.”

Kedua anak laki-laki yang lebih tua mengikuti Bastian tanpa masalah, mereka tidak seperti si bungsu yang menganggap Bastian menakutkan. Begitu Bastian tidak terlihat, si bungsu berhenti menangis, dan Odette perlahan mengayunkannya di pelukan. Dia tertidur dengan cepat, dan dengan lembut, Odette membaringkannya di sofa.

Setelah memastikan gadis kecil itu nyaman, Odette pergi ke jendela dapur dan merasa seolah-olah sedang bermimpi. Dia melihat ketiganya menendang bola di halaman. Salah satu dari mereka menendang bola begitu keras hingga jatuh ke sungai, tapi Bastian tanpa ragu langsung menggulung celana dan menceburkan diri ke dalam air untuk mengambilnya. Meski biasanya Bastian adalah tipe orang yang menunggu dan melihat, saat salah satu anak menginginkan sesuatu, dia tidak segan untuk menurutinya. Odette belum pernah melihat sisi ini dari dirinya sebelumnya.

Keluar dari air dengan senyum di wajahnya, Bastian hampir tidak menyadari bahwa tubuhnya basah kuyup dan melanjutkan bermain bola dengan anak-anak. Dia mampu mengikuti ritme cepat mereka. Seolah-olah ini adalah bakat alaminya, meskipun kemungkinan besar dia tidak punya pengalaman dalam mengasuh anak.

Odette tak bisa melepaskan pandangannya dari Bastian yang tersenyum cerah seperti pagi musim semi. Sampai matanya terasa perih karena terlalu lama menatap, barulah dia tersadar akan perasaan sedih yang tiba-tiba menyergapnya. Mereka bisa saja memiliki kehidupan seperti ini, bersama. Andai saja mereka tidak begitu bodoh. Andai saja hidup tidak begitu kejam. Andai saja dewi keberuntungan pernah memberi mereka satu senyuman baik hati.

Serpihan penyesalan menusuk hatinya. Anak yang seharusnya lahir bersama musim panas telah tertidur dalam musim dingin yang abadi. Melihat Bastian bermain dengan anak-anak membuat Odette menyadari apa yang telah hilang darinya.

Saat Odette berpaling dari jendela, tak mampu lagi menanggung rasa sakit itu, si bungsu dari ketiga anak tersebut berdiri di ambang pintu dapur.

“Mommy!”

Bastian - OdetteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang