Chapter 132 - Tempat Di Mana Tuhan dan Takdir Menghilang

75 4 0
                                    

Odette membeli tiket untuk kereta pertama yang berangkat dari stasiun. Kereta itu menuju Lechen. Kegentingan untuk pergi mendorongnya naik ke kereta tanpa memeriksa tiket untuk kedua kalinya. Kesadaran bahwa dia menuju negara asing membuat tubuhnya gemetar, tetapi dirinya tidak punya pilihan.

Dan di sanalah dia.

Bekas luka di pipinya sangat mencolok. Dia pernah bertemu pria itu di kereta saat menuju Felia, lalu lagi sekitar satu jam yang lalu, di stasiun trem. Sudah sangat jelas bahwa Bastian telah menyuruh seseorang mengikutinya, seharusnya Odette menyadarinya, kenapa dia tidak menyadarinya?

Dengan langkah gontai, Odette terhuyung masuk ke dalam kompartemen, suara tawa dan gosip memenuhi udara, bersama dengan bunyi ritmis hujan di jendela. Tenggelam di kursinya, Odette mengamati setiap wajah yang bisa dilihatnya. Fakta bahwa dia tidak bisa melihat pria itu di mana pun tidak membuatnya merasa tenang. Dia sudah pergi selama lebih dari sebulan dan belum pernah melihatnya sekali pun. Mungkin pria itu masih mengawasinya bahkan sekarang.

Memegang Margrethe erat-erat, dia memohon agar kereta segera berangkat lebih cepat. Melarikan diri dari kota adalah kebutuhan mendesak yang membebani hatinya. Dia harus pergi jauh melampaui batas kota, untuk menenangkan diri dan memikirkan langkah berikutnya dengan hati-hati.

Jadi, tolong ....

Odette berdoa kepada Tuhan tak berhati yang mengendalikan nasib buruknya. Dia memohon belas kasihan sampai isak tangisnya pecah.

Peron mulai menjauh, seolah-olah doanya telah dijawab saat dia menyadari kereta mulai bergerak, tetapi tiba-tiba suara rem yang melengking memecah udara. Kereta berhenti mendadak.

Odette dengan panik menyeka embun yang terbentuk di jendela dan menatap keluar ke arah peron. Sekelompok pria sedang berjalan dengan tekad menyusuri peron, salah satu pria terlihat memimpin di depan. Ketakutan mencengkeram hati Odette saat sosok yang tak salah lagi itu mendekat ke arahnya.

"Di sini, lewat sini," suara pria itu memanggil saat dia berlari di sepanjang peron menuju bagian depan gerbong Odette.

Panik membuat napas Odette tersengal-sengal saat dia melihat sekeliling, putus asa mencari jalan keluar. Melarikan diri adalah keharusan, tetapi wanita itu merasa lumpuh. Margrethe merasakan kepanikan Odette dan mulai merengek. Odette memeluknya erat, menggenggam dengan kuat sambil menangis.

Badai hujan semakin intens, menjadi simfoni alam yang ganas dan menggugah.

*.·:·.✧.·:·.*

Gerbong kelas tiga kereta menuju Lechen penuh sesak, tak ada ruang tersisa untuk penumpang tambahan. Bastian memeriksa setiap wajah saat dia berjalan melalui setiap kompartemen, tetapi tidak ada tanda-tanda Odette. Dia berharap bisa menyelesaikan ini dengan cepat untuk meminimalkan ketidaknyamanan bagi para penumpang.

Kepala stasiun sangat membantu dalam usaha Bastian mencari istrinya, yang telah menaiki kereta yang salah. Dikenali dari surat kabar pagi, Bastian telah menjadi semacam selebriti di Felia.

Saat Bastian melangkah di lorong-lorong sempit, berpindah dari satu kompartemen ke kompartemen lain, akhirnya Bastian menemukan yang dicarinya. Bahkan dari belakang, dia mengenalinya dan istrinya masih mengenakan mantel biru yang dulu dihadiahkannya.

Bastian teringat saat menelepon butik pakaian, khawatir Odette akan kedinginan, dan berusaha mencarikannya pakaian hangat. Dan sekarang dia merasakan sesal karena telah melakukan hal yang begitu memalukan.

‘Karena aku mencintaimu … kau … yang tak akan pernah memberikan hatimu padaku.’

Bastian menepuk bahu pria yang duduk di sebelah Odette, dan meskipun terlihat enggan, pria itu akhirnya beranjak untuk memberi tempat kepada Bastian. Tatapan Bastian tetap terpaku pada Odette, yang masih menatap ke luar jendela.

Bastian - OdetteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang