Chapter 189 - Sepenggal Cahaya

63 6 0
                                    

Suara goresan ujung pena di atas permukaan kertas kasar itu terhenti. Odette mengamati ulang apa yang sudah ditulisnya dengan tatapan penuh perenungan.

Malam musim panas sudah melewati puncaknya, dan udara dipenuhi oleh suara jangkrik yang berisik. Sambil mendengarkan suara mereka yang nyaring, dia berusaha keras untuk tetap fokus pada kata-kata di atas kertas, tapi ujung pena itu meluap dengan tinta, dan setetes cairan hitam jatuh ke halaman, tepat di atas sebuah kalimat yang membawa kabar tentang anak mereka.

Terkejut dari pikirannya yang melantur, dia mencoba menghapus noda tinta itu, tapi justru membuatnya semakin menyebar di atas kertas. Semakin keras dia berusaha membersihkannya, semakin buruk keadaannya. Bahkan kertas penyerap tinta pun tak mampu menolong. Surat itu hancur.

Dengan helaan napas panjang, Odette berdiri dari meja tulis dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan noda tinta di jari-jarinya, sekaligus menenangkan pikirannya yang resah. Dia turun ke lantai bawah, di mana Margrethe terbangun dari tidurnya yang ringan saat mendengar majikannya menuruni tangga. Anjing itu melangkah pelan dan menjilat tangan Odette.

“Terima kasih, Meg,” ucap Odette pelan, dan Margrethe membalas dengan suara menggonggong kecil.

Odette duduk di kursi yang dalam dan berbagi cerita dengan anjingnya. Tentang berakhirnya gelombang panas yang lengket dan kedatangan cuaca yang lebih sejuk. Tentang keadaan Bastian saat ini dan keajaiban-keajaiban yang baru terjadi.

“Mungkin aku akan menjadi ibu lagi,” katanya, suaranya meredup seiring dengan pikiran itu. Gejalanya tak mungkin salah. Sama seperti sebelumnya.

Odette bangkit setelah satu jam berbicara satu arah dengan Margrethe dan membuat secangkir teh untuk dirinya sendiri. Saat dia membawa nampan berisi teh dan kudapan ke taman belakang, angin sejuk berhembus melewati kebun.

Apakah lebih baik jika dia tidak memberi tahu Bastian? Pikiran tentang surat yang rusak membuat hatinya ragu. Bastian sudah menunjukkan betapa dia berharap kejadian yang tidak diinginkan itu tidak terulang lagi, tapi terakhir kali sepenuhnya adalah kesalahannya karena kurang bertanggung jawab. Terlalu kejam untuk membebani hati Bastian saat ini. Kemungkinan yang bahkan tak pernah berani dia bayangkan.

Odette memandang perutnya. Hari ketika diagnosis itu datang, dia mengubur semua harapan untuk bisa memiliki anak lagi. Dia menyerah pada keyakinan bahwa keajaiban semacam itu bisa terjadi dalam hidupnya. Luka dan rasa sakit telah mengalahkan kepercayaannya untuk bisa melewati semuanya. Tapi bagaimana jika keajaiban itu benar-benar terjadi hanya dalam semalam?

Dia merasakan campuran ketidakpercayaan dan kebahagiaan, tetapi juga kekhawatiran yang tak kalah besar.

Sekarang, melarikan diri dan membesarkan anak ini sendirian tampaknya bukan pilihan yang tepat.

Odette memandang ke sekeliling taman yang gelap, seolah-olah jawabannya tersembunyi di antara bayangan-bayangan, menunggunya untuk menemukannya. Segala sesuatu di sekelilingnya mengingatkannya pada dirinya, mulai dari pompa air yang pernah diperbaikinya, hingga kursi kokoh yang sedang didudukinya.

Rumah itu bersinar dalam cahaya purnama yang lembut. Setiap sudut tampak berbisik menyebut nama Bastian, kenangan tentang waktu singkat yang mereka habiskan bersama menyelimuti sekelilingnya. Waktu itu mungkin hanya kurang dari seminggu, tapi terasa sejelas kenangan sepanjang hidupnya. Mungkin itulah sebabnya dia memilih untuk tidak meninggalkan desa ini dulu.

Dia merasa kesepian.

Sejak hari Bastian meninggalkannya, kesepian itu tak kunjung pergi. Kembali ke kehidupannya sehari-hari hanya membuat hari-harinya terasa sangat hampa. Dia merasa seakan telah kesepian sepanjang hidupnya, tetapi baru menyadarinya setelah Bastian pergi. Seperti tidak pernah tahu apa itu kegelapan, sampai cahaya itu datang, lalu pergi lagi.

Bastian - OdetteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang