Chapter 185 - Rabu Ketika Suaminya Pergi

71 6 0
                                    

Bastian berjalan di depan, menyeret kopernya sepanjang jalur di tepi sungai. Odette hanya berjarak satu langkah di belakangnya. Dia sebenarnya bisa saja memperpendek jarak itu, berjalan di sampingnya, tetapi memilih untuk tetap menjaga jarak yang sopan.

Hari ini, dia seharusnya menuju ke kediaman keluarga Xanders untuk mengajar Alma. Masih ada cukup waktu untuk menyelesaikan segalanya, tetapi dia memutuskan untuk berangkat lebih awal demi melepas kepergian Bastian dengan baik.

Mereka berbelok di ujung pagar tanaman, dan bisa melihat persimpangan jalan di depan sana. Mobil yang akan menjemput Bastian sudah menunggu di sana. Odette sebenarnya bisa saja mengikuti Bastian sampai ke mobil, tetapi dia harus belok ke jalan berikutnya untuk menuju ke vila Maximin. Dia merasa, jika perpisahan ini diperpanjang lagi, maka akan terlalu berat bagi mereka berdua.

Dia tidak ingin momen ini diwarnai kesedihan. Dia ingin mengucapkan selamat tinggal dan berpisah dengan cara yang baik, mengakhiri hubungan mereka dengan kebahagiaan dan kenangan manis tentang lima hari terakhir, seolah-olah tiga tahun yang lalu tidak pernah terjadi.

Walaupun awalnya berantakan dan sebagian besar waktu yang mereka habiskan bersama dipenuhi dengan luka dan penyesalan, Odette berharap bisa mengenang pernikahan ini—terutama detik-detik terakhirnya—tetap indah di hatinya, seperti sinar matahari di bulan Juni.

Saat persimpangan itu semakin dekat, langkah Odette melambat, menariknya semakin jauh dari Bastian. Merasakan keraguannya dan memperlambat langkahnya juga, tetapi dia tidak pernah menoleh ke belakang. Sebuah senyum terbentuk di wajah Odette ketika menatap punggung pria yang tak berperasaan, tetapi baik hati itu.

Waktu yang mereka habiskan bersama mungkin tidak cukup indah untuk dikenang secara romantis, tetapi Odette merasa ada beberapa momen di mana percikan itu muncul, momen-momen yang bisa dia kenang dengan perasaan hangat, tanpa menganggap tiga tahun terakhir adalah sebuah kesia-siaan belaka. Kini, dia bisa mengingatnya dengan cara seperti itu, tanpa rasa malu atau luka yang mendalam, dengan hati yang kini terbebas dari bayangan kelam.

Waktu perpisahan semakin dekat, dan jarak untuk mengucapkan selamat tinggal kini tinggal kurang dari sepuluh langkah. Odette menghapus air matanya dan merapikan gaunnya dengan gugup. Berharap tadi bisa melepaskan rambutnya, tapi angin hari itu cukup kencang dan dia tidak ingin terlihat seperti penyihir gila di hari terakhir mereka bersama.

Odette menyelesaikan merapikan gaunnya dan berhenti di persimpangan. Bastian juga berhenti. Saat Odette berusaha menenangkan diri, Bastian berbalik menghadapnya, untuk pertama kalinya menatapnya sejak meninggalkan rumah. Dia menundukkan pandangannya untuk bertemu mata Odette. Ranting-ranting pohon willow melambai tertiup angin di belakang kepalanya.

“Aku harus pergi ke arah ini sekarang,” kata Odette, memandang jalan di hadapannya.

Bastian mengikuti arah pandangannya, menyipitkan mata saat menyadari ke mana jalan itu mengarah.

“Sepertinya kau akan pergi ke kediaman Count Xanders.”

“Ya, pagi ini ada pelajaran piano Alma,” jawab Odette dengan tenang.

Bastian melepaskan pegangannya pada kopernya, membiarkannya bersandar di bawah bayangan pohon willow. Dia mendekati Odette perlahan, melepas topi perwiranya.

“Bastian, maafkan aku,” ucap Odette, mengumpulkan segala keberaniannya.

“Mengkhianatimu adalah hal yang tak termaafkan. Aku egois dan bodoh.”

“Aku rasa kau sudah meminta maaf cukup sering untuk itu,” jawab Bastian, sedikit memiringkan kepalanya.

“Tidak, saat itu aku tidak benar-benar tahu seharusnya minta maaf untuk apa. Aku hanya cemas ingin segera keluar dari masalah. Sejak saat itu, aku terus menghindarinya dengan merasionalisasi permintaan maaf dan pengampunan yang sudah kehilangan maknanya.”

Bastian - OdetteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang