Chapter 121 - Pulau yang Sepi

69 7 0
                                    

Taman hiburan itu penuh dengan kehidupan, dipenuhi oleh pengunjung akhir pekan yang tak terhitung jumlahnya. Odette melangkah di antara mereka dengan ekspresi kosong di wajahnya. Odette baru menyadari di mana dia berada ketika cahaya berkedip dan suara-suara riang menembus pikirannya yang jauh.

Betapa ironis bahwa dia akan berakhir di sini, dari semua tempat.

Merasa aneh bahwa dirinya akan berakhir di sini, mengembara di jalanan yang gelap tanpa tujuan yang jelas. Sebenarnya, tidak masalah di mana dia berakhir, terutama sekarang ketika dia telah kehilangan arah, meskipun sepertinya arah itu tidak pernah benar-benar ada sejak awal.

Dia terpikat oleh musik yang dimainkan oleh pengamen jalanan, tawa orang banyak, dan teriakan antusias dari mereka yang menikmati wahana. Pedagang berteriak menawarkan dagangan mereka—apel karamel, popcorn, kacang hazelnut panggang. Tanpa sadar, Odette menemukan dirinya ikut antre untuk permen kapas, "Fairy Thread," tertulis di papan.

Papan itu persis sama seperti dua tahun lalu, sama terang, sama bersih, di tempat yang sama di mana Bastian berdiri dalam antrean untuk membelikannya permen kapas.

Odette menyadari bahwa dia sedang mengikuti jejak yang pernah mereka lalui bersama, menuju istana elektrik, dengan lampu-lampunya yang penuh warna, musik yang terus mengalun tanpa henti. Kenangan yang tidak disadarinya tiba-tiba membanjiri pikirannya.

Kepingan masa lalu yang hancur menyatukan diri dalam pikirannya dan Odette tidak bisa melepaskan diri darinya. Mengingat permen kapas yang tak pernah sempat dia rasakan karena terjatuh, menimbulkan rasa lapar yang luar biasa dalam dirinya.

“Mau satu?” tanya penjual dengan nada tidak sabar.

Dia terlalu larut dalam pikirannya hingga tidak menyadari berada di depan antrian. Dia berniat meraih tasnya, tetapi tas itu tidak ada di pundaknya. Dia telah meninggalkannya di hotel dan sekarang dia berada di jalan tanpa uang sepeser pun. Dia tidak membawa uang sedikit pun. Dia meninggalkan hotel bahkan tanpa mengenakan mantel.

“Oh, tidak, tidak apa-apa,” kata Odette, memberikan senyum canggung.

Odette segera menjauh dari kios itu, berharap bisa lari dari rasa malunya. Dia menarik selendangnya erat-erat, merasakan gigitan dingin yang tajam. Dia berpikir untuk kembali, kondisinya tidak cukup baik untuk menghadapi dingin yang menusuk di awal musim gugur. Dia juga tidak bisa mengambil risiko kesehatannya, jika tidak rencananya bisa hancur berantakan.

“Maaf, Nyonya, apakah Anda butuh bantuan?” sepasang muda yang sedang menuju ke Bianglala berhenti untuk berbicara dengannya. Anak dalam gendongan sang ayah terlihat sangat mirip dengan Alma.

Odette membuka mulutnya untuk merespons, tetapi suaranya gagal keluar. Yang berhasil hanyalah sebuah suara kecil, senyum lemah, dan gelengan kepala. Pasangan muda itu menatapnya dengan cemas saat dia berjalan dan duduk di bangku. Odette harus kembali sekarang, tetapi dia meragukan apakah masih memiliki kekuatan untuk melakukannya.

Memutuskan bahwa istirahat sebentar adalah yang dia butuhkan. Seorang penjual di seberang tempat dia duduk menjual minuman panas. Apakah itu penjual yang sama yang pernah menjual cokelat panas kepada Bastian waktu itu?

Sebuah tawa getir keluar dari bibirnya saat air liurnya mulai menetes membayangkan minuman cokelat yang kental dan lembut itu. Odette tidak mengerti mengapa semua ingatannya selalu tentang makanan, padahal dia ingin menghindari terus dihantui oleh rasa laparnya.

Mungkinkah ini karena bayinya?

Dia sudah lama tidak makan dengan baik, anak di dalam kandungannya pasti dalam kondisi yang sama. Bayinya juga merasakan kelaparan yang sama seperti dirinya.

Odette mengangkat pandangannya ke arah Bianglala, mencoba mengalihkan pikirannya dari makanan. Dia bisa melihat pasangan muda itu bergabung dalam antrian, anak mereka terlihat begitu bersemangat untuk naik dan mencapai puncak tertinggi. Dengan perasaan yang terlepas, Odette meremas tangannya di atas perutnya. Meskipun mungkin tidak cukup untuk menahan dingin, setidaknya itu bisa memberikan sedikit kehangatan.

Odette melihat sekeliling pada dunia buatan yang diterangi, matanya berair karena sorotan cahaya yang begitu terang. Matanya dipenuhi air mata yang tak mau kering, menatap ke arah ilusi yang indah, bersama dengan anak yang untuk pertama kalinya dia akui dengan sepenuhnya.

*.·:·.✧.·:·.*

“Master, bukankah lebih baik keluar mencari Nyonya Klauswitz?”

Bastian melihat ke arah jam, pukul delapan, dia sudah menunda makan malam dua kali. Dia menutup koran yang sedang dibacanya. Dia tidak bisa lagi berdiam diri.

“Tidak usah membuat keributan yang tidak perlu.”

“Tapi Nyonya masih...”

“Aku yang akan mencari istriku,” potong Bastian, menghentikan Hans.

Dia dengan tenang berdiri dari kursinya, melemparkan koran ke meja samping. Hans bergegas mengambilkan mantel Bastian.

Bastian meraih mantelnya saat keluar dari ruangan. Pasangan Becker masih berada di hotel, berkumpul dengan teman-teman mereka untuk pesta pra-pernikahan, merayakan kebahagiaan pernikahan mereka. Melihat wajah Tira yang bersinar dengan kebahagiaan membuat Odette tampak semakin konyol di mata Bastian. Bisakah dia bahkan menyebutnya cinta tak berbalas? Odette telah memberikan segalanya untuk adiknya, tetapi balasan yang dia terima hanyalah ketidakpedulian.

Bastian berjalan melintasi lobi dengan penuh keyakinan, keluar menuju malam yang dingin. Tira tak akan bisa membantu dalam hal ini, jadi Bastian membiarkan dia menikmati pestanya tanpa kehadiran kakaknya. Bastian akan membiarkan Odette terus merasakan cinta tak berbalas itu.

Bastian mengikuti aliran sungai menuju taman hiburan, dengan Bianglala sebagai penuntunnya. Odette pasti ada di tempat itu. Dia tidak punya bukti nyata untuk dasar pikirannya, hanya saja Odette adalah wanita yang bisa ditebak, dan tidak butuh waktu lama bagi Bastian untuk memastikan kebenaran firasatnya.

Dari seberang jalan menuju taman hiburan yang pernah mereka kunjungi bersama, dia bisa melihat Odette berjalan mendekat, menjauh dari taman hiburan. Tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas dari kejauhan dan kegelapan malam, tetapi Bastian tahu itu adalah Odette.

Dia mengenakan pakaian yang tidak cocok untuk malam yang dingin, seolah-olah tekadnya cukup untuk menghangatkan tubuhnya. Sulit membayangkan ada orang yang bisa merasa cukup hangat hanya dengan selendang tipis di pundaknya.

Bastian hampir memanggilnya, tetapi kemudian berubah pikiran dan hanya berdiri di bawah lampu gas, menunggu. Meskipun setiap langkah terlihat lelah dan tertarik, Odette masih berdiri tegak, seperti sedang berbaris dengan tekad keras kepala. Dia hampir berada di sebelah Bastian sebelum menyadari ada orang lain di depannya, apalagi siapa orang itu.

“Bastian?” dia terkejut, suaranya kecil.

Dia memegang tangannya di dadanya, menatapnya dengan mata lebar dan berair. Setiap kali dia berkedip, bayangan bulu matanya membuatnya terlihat semakin sedih.

Menukar hidupnya, mengkhianati perjanjian, lalu kembali ke titik awal. Odette tidak bisa melarikan diri dari takdirnya dan hanya memperdalam keberuntungan Bastian, yang sejauh ini belum berpihak padanya.

Dengan menghela napas, Bastian membungkuskan mantelnya di sekitar Odette, yang terlihat gemetar. Odette tampak ingin menolak tawaran itu, tetapi terlalu lemah untuk mengatakan atau melakukan apa pun selain membiarkannya menyelimuti bahunya. Dia memperkirakan Odette akan pingsan kapan saja.

Odette terhuyung, dan Bastian menangkapnya. Dengan wanita itu di pelukannya, dia berjalan kembali ke hotel. Meskipun akan jauh lebih cepat melalui pintu utama, Bastian memutuskan untuk membawanya melewati pintu samping, agar Tira tidak tahu tentang kemalangan kakaknya, meskipun Bastian tidak berpikir Tira akan peduli.

Sang Kaisar telah meninggalkan bidak catur yang terlalu sering dipakai.

Sang Ayah menghembuskan nafas terakhirnya.

Dan Sang Saudari akan pergi mencari kebahagiaannya sendiri.

Odette kini bagaikan pulau yang sepi, tak ada yang tersisa.

Dan Bastian adalah satu-satunya penyelamat sekaligus hakimnya.

Bastian tersenyum dengan penuh kepuasan

*.·:·.✧.·:·.*

Bastian - OdetteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang