Chapter 183 - [R19] Semoga Semuanya Menjadi Indah

104 7 0
                                    

[Anak di bawah umur minggir dulu yaaa... Balik baca kesini kalau sudah cukup umur. Kalau ngeyel nanti dicubit tuyul!!!]

Makan malam terakhir mereka bersama berlangsung hingga hampir tengah malam. Hidangan yang disiapkan adalah campuran acak dari apa pun yang bisa ditemukan Odette, tetapi itu lebih dari cukup; Bastian menghabiskan setiap suapan di piringnya. Bahkan Odette makan dengan lahap—memuaskan diri dengan roti dan air, dan bahkan menikmati apel yang dibagikan Bastian kepadanya, diikuti dengan jeruk juicy yang membuat jarinya lengket.

“Biarkan kuambilkan.” Tanpa ragu, Bastian pergi ke meja rias dan mengambilkan Odette selembar serbet.

“Bagaimana kau tahu tempatnya?” tanya Odette.

Bastian memandangnya dengan senyuman nakal, “Kau selalu menyimpannya di laci kiri dekat wastafel.”

Bastian memotong sebuah apel lagi dan memberikannya padanya.

Odette menyadari meskipun hanya pasangan palsu, mereka tetap menjalani hidup bersama, dan saling mengenal seolah-olah benar-benar menikah. Dia harus terus mengingatkan dirinya bahwa mereka bukan pasangan yang sebenarnya.

Odette memandang Bastian dengan perhatian baru dan menyadari bahwa dia sangat sedikit tahu tentang dirinya. Dia sedang makan apelnya sambil memandangi langit malam di luar jendela. Apakah Bastian menyukai apel? Meskipun tidak tahu jawabannya, Odette tidak pernah terlalu peduli tentang apa yang dimakan Bastian atau hal-hal yang dia sukai.

Dia memandang apel di tangannya, menyerah pada emosi yang membanjir saat air mata mengalir di pipinya. Apel selalu menjadi favorit Odette, sama seperti cokelat yang dibawakan Bastian di atas nampan. Hal-hal ini tidak akan pernah diketahui seandainya Bastian tidak ada. Bastian selalu memperhatikan kebiasaannya, apa yang dia suka dan tidak suka, sesuatu yang bahkan Tira dan orang tuanya tidak pernah perhatikan selama dua puluh tahun hidup bersama. Entah bagaimana, tampaknya tidak ada seorang pun yang mampu merawatnya. Karena merawatnya adalah tugasnya sendiri.

Tapi Bastian melakukannya.

“Kau bilang merindukanku, itulah sebabnya kau datang, kan?” kata Odette dengan bibir bergetar ketika tatapan mereka bertemu dalam sinar bulan.

“Ya, benar,” jawab Bastian, bersandar dalam-dalam ke sandaran kursi, menangkapnya dalam tatapan tenangnya.

“Aku tidak mengerti, kenapa kau merindukan wanita malang ini? Kenapa kau mau repot-repot untuk seseorang yang hanya menjadi mimpi buruk bagimu? Kenapa kau melakukan ini? Aku tidak mengerti, Bastian, semua ini terasa seperti kebohongan.” Odette menyampaikan perasaannya yang sebenarnya.

“Jika kau merindukanku cukup untuk ingin membawaku kembali, berarti aku bukan mimpi burukmu. Yang mana yang tidak benar?”

Odette membayangkan berdiri di depan pintu yang terkunci lagi. Dia ingin mengetuk pintu itu dengan sekuat tenaga, berharap seseorang mungkin membukakannya dari dalam. Dia ingin melampaui pintu itu. Dia ingin tahu tentang pria yang berdarah sendirian di sana.

“Yah, situasinya pasti sama seperti dengan saudaramu, Tira.” Senyuman menyeramkan menyebar di bibir Bastian.

“Kau mencintai Tira cukup untuk mengabdikan hidupmu untuknya, tetapi setelah kau mengizinkannya terbang bebas, kau merasa lega, kan? Aku rasa semua itu adalah perasaanmu yang sebenarnya.” Suara Bastian tenang dan lembut, tanpa sedikit pun nada intimidasi.

“Hati ini merasa sama, Odette. Sakit rasanya melihatmu, tapi hatiku tahu apa yang diinginkannya, aku masih merindukanmu. Aku ingin bertanggung jawab atas kesalahanku. Tapi, ketika aku melihatmu bahagia setelah meninggalkanku, aku merasa lega. Aku rasa aku bisa bangkit dari mimpi buruk ini sekarang. Aku serius, Odette.”

Bastian - OdetteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang