Chapter 144 - Peta Luka

70 4 0
                                    

Cahaya di kamar tidur Odette tak pernah padam. Dr. Kramer terus datang untuk memeriksa kondisi Bastian, sementara para pelayan membantu menurunkan demamnya. Odette duduk di kursi dekat perapian, mengamati segalanya.

Namun, pikirannya tak benar-benar memperhatikan orang-orang yang bergerak di sekitarnya. Pikirannya sepenuhnya terfokus pada apa yang dikatakan Dr. Kramer kepadanya. Kisah tragis seorang wanita, yang dikhianati oleh cinta yang sangat dia hargai, dan seorang anak laki-laki yang ditinggalkan. Begitu mengerikan hingga sulit dipercaya, tetapi itu adalah kenyataan yang tak terbantahkan. Dokter itu tampak bukan tipe orang yang akan mengarang cerita seperti itu.

Kenapa, kenapa kau melakukan ini?

Teriakan marah Bastian terngiang di kepalanya, bersama bayangan mata tajamnya saat dia menemukan pengkhianatan Odette.

Akhirnya, Odette mulai memahami keadaan pikiran Bastian pada hari itu. Mengapa dia begitu marah, mengapa dia memilih cara yang begitu kejam dalam membalas dendam, mengapa dia tak bisa melepaskan hubungan yang menghancurkan mereka berdua. Dia memahami semuanya sekarang.

"Demamnya sepertinya sudah mulai turun," kata Dora, sambil menepuk lembut dahi Bastian.
Odette bangkit dari tempat duduknya dan mendekati ranjang saat Dr. Kramer melepaskan jarum infus dari lengan Bastian.

Bastian masih tak sadarkan diri, tubuhnya yang dipenuhi luka terlihat jelas karena selimutnya telah ditarik untuk membantu menurunkan suhu tubuhnya.

“Apa Anda ingin saya menyiapkan tempat tidur di kamar lain, agar Anda bisa beristirahat?” tanya Dora.

Odette hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban, lalu duduk di tepi ranjang.

Dia melihat Bastian dengan pandangan bingung dan tidak berdaya. Ada bekas luka yang dalam dan kasar di dada suaminya, yang mengerut dan bergerak setiap kali dia bernapas. Bahu, lengan, perut, dan pinggangnya—di mana pun Odette melihat, hanya ada rasa sakit, tetapi dia tidak bisa berpaling. Tubuhnya seperti peta penuh bekas luka. Kebenaran yang tersembunyi, tak diketahuinya, tiba-tiba menyapu masuk seperti gelombang pasang yang lembut tetapi kuat, membanjiri hatinya.

Dia tidak pernah benar-benar melihatnya sebelumnya, tidak pernah mengamatinya dengan baik. Dia berpikir bahwa memberikan perhatian yang tidak perlu hanya akan membuat segalanya menjadi rumit, dalam hubungan yang sepenuhnya palsu. Di tengah gurun kehidupannya, dia tidak ingin menjadi pengembara tanpa tujuan, tergoda oleh fatamorgana sebuah oasis. Dia melindungi dirinya sendiri, menutup mata dan menutupi telinganya. Namun, perlindungan yang dia cari ternyata hanyalah inti dari gurun yang tandus, di mana ilusi indahnya menghilang di antara badai pasir yang bergejolak.

Odette menyesali masa lalu, ketika dia terburu-buru menghindari kenyataan. Dia hanya merasakan kebencian terhadap Bastian karena pria itu menyembunyikan dirinya. Odette membenci dirinya sendiri karena membuat keputusan-keputusan gegabah yang hanya memperburuk keadaan, dan dia sedih dengan kebenaran yang baru saja disadarinya bahwa tidak ada yang bisa diubah. Saat dia bergulat dengan badai batin yang penuh gejolak, dengan emosi yang membara karena amarah atau mungkin sesuatu yang lebih dalam, para pelayan mulai membersihkan Bastian. Sebuah celah halus muncul dalam pandangannya ketika dia diam-diam mengamati pemandangan itu

Bastian adalah seorang pria yang berusaha mencapai kesempurnaan dalam segala hal. Dia tidak mentolerir sedikit pun ketidaksempurnaan, yang membuatnya terlihat tegas. Hal ini memperkuat tubuhnya, tetapi pikirannya tetap rapuh dan membuatnya dalam kondisi di mana orang lain harus merawatnya. Rasanya seolah Odette tengah menyaksikan runtuhnya benteng yang dulu perkasa.

"Pergilah, aku yang akan melanjutkannya dari sini," kata Odette tiba-tiba dan bangkit dari kursinya.

"Tapi Nyonya... kondisinya masih..."

Bastian - OdetteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang