Chapter 155 - Suatu Tempat di Antara Kebenaran dan Kebohongan

57 2 0
                                    

Mata Odette berbinar penuh harapan ketika Bastian menatapnya dengan tenang. Harapan itu tampak putus asa, seolah-olah dia berusaha mati-matian berpegangan pada sesuatu yang rapuh, seperti seseorang yang tenggelam. Semakin lama mereka saling menatap, semakin putus asa harapan itu terasa.

Bastian mengangkat tangannya yang masih basah dan menangkupkan ke pipi Odette.

"Bastian," kata Odette, dorongan untuk mendekat padanya begitu tak tertahankan.

Bastian berpikir Odette tampak seperti anak yang terlantar, mengingatkannya pada hari ketika dia melamarnya. Dia duduk sendirian di bangku taman rumah sakit, di tengah mawar-mawar tinggi. Dengan seorang ayah yang cacat, dan tanpa sepengetahuannya, seorang saudara perempuan yang telah menyebabkan kecelakaan itu. Ekspresinya sekarang mencerminkan wajahnya pada hari dia dihadapkan dengan kenyataan yang tak tertahankan.

Tira adalah pelaku sebenarnya dari kecelakaan itu.

Butuh waktu lama bagi Bastian untuk mendapatkan informasi itu, tapi akhirnya dia memilikinya. Percakapan lewat telepon itu berlangsung hingga larut malam. Tira mengakui semuanya padanya. Mulai dari keadaan yang menyebabkan pertengkaran dengan ayahnya, kecelakaan yang tidak disengaja, hingga apa yang terjadi setelahnya. Dalam keinginannya yang teramat sangat untuk membersihkan hati nuraninya, rasanya tidak seperti Tira mengarang cerita.

Bastian mendengarkan dalam diam, merasa kecewa dengan upaya Tira menyelamatkan dirinya sendiri dengan "menjual" saudara perempuannya, tetapi juga bisa memahami alasan di balik tindakannya. Tira telah putus asa untuk melindungi apa yang telah dia miliki—suami, anak, dan bisnis kayu mereka. Seluruh masa depan keluarganya. Sulit untuk tidak memperhatikan betapa kurangnya emosi Tira terhadap Odette, kakaknya, yang seakan tidak lagi menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Tira mencoba membela Odette, yang menurutnya tidak punya pilihan lain selain mengambil keputusan sulit itu. Ketika Tira mengetahui pengorbanan kakaknya—bahkan menutupi kesalahan yang Tira buat—dia akhirnya menangis tersedu-sedu. Tira mengklaim mencintai saudarinya, tetapi dia tidak bisa mengutamakan cinta untuk kakaknya di atas cinta kepada keluarganya sendiri dan masa depannya. Mungkin yang dia rasakan hanyalah kasih sayang biasa. Sebenarnya, yang luar biasa adalah Odette.

Bastian perlahan membuka mulutnya, tetapi kata-kata yang ingin dia ucapkan tak terlepas. Jika Odette tidak memiliki seorang saudara perempuan, setidaknya dia memiliki seorang anak. Jika tidak memiliki anak, setidaknya dia memiliki Margrethe. Namun, Odette terus berkelana, mencari tempat untuk menempatkan pengorbanan dirinya.

Tanggung jawab. Pengorbanan. Dedikasi.

Itulah yang menjadi inti hidup Odette, seakan-akan hanya itulah cara yang dia tahu untuk memberi makna pada keberadaannya. Dia tidak tahu bagaimana hidup untuk dirinya sendiri. Mungkin karena tidak ada yang pernah menunjukkan padanya cara hidup yang berbeda.

Pada momen itu, Bastian merasa dia bisa memahami Odette. Jika menggantikan keluarga dengan balas dendam, mereka berdua sebenarnya sama. Jika ada yang bertanya kepadanya mengapa melakukan semua yang telah dia lakukan, Bastian mungkin tidak akan bisa menjawab. Tapi dia tahu tidak ada cara lain untuk menjalani hidupnya. Hidupnya didorong oleh dorongan buta, tanpa arah yang jelas.

"...Ya, benar... Itu bukan Meg, Odette," kata Bastian, menatap ke dalam matanya.

Harapan akan kembalinya Margrethe begitu menyakitkan untuk ditanggung, tetapi rasa sakit itu adalah benang terakhir yang bisa mengikat Odette di sisinya. Bastian memutuskan untuk memilih benang itu. Dia membiarkan keserakahannya mengemudi, mengesampingkan apa yang terbaik untuk Odette.

“Aku tahu, tak mungkin aku tidak mengenali Meg,” kata Odette, memaksakan tawa. Bastian menjawab dengan diam, terperangkap di antara kebenaran dan kebohongan, seolah-olah terjebak dalam kabut yang samar.

Bastian - OdetteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang