Chapter 25 - Where the Arrow Is Pointing

20 2 0
                                    

Suara tawa Bastian yang dalam dan serak menggema di aula depan selayaknya gemuruh guntur.

Matanya yang tenang dan sedamai danau pegunungan, menatap mata Isabelle, lalu seringai licik muncul di sudut bibirnya. Bukan ekspresi ramah, membuat Isabelle merasa dirinya tertekan dan menyusut ke belakang, kakinya membeku di tempat seperti gunung es.

Sang Putri berdiri di depan Bastian, cukup dekat untuk merasakan hawa dingin yang terpancar dari tatapan tajamnya. Sang Kapten melirik sekilas pada kericuhan di aula depan, lalu dengan satu anggukan kepala, dia memanggil kepala pelayan yang meringkuk di belakangnya. Kepala pelayan, yang memahami keinginan Bastian, segera bergegas menutup pintu, segera keheningan memenuhi aula, hanya dipecahkan oleh suara napas Bastian.

Dengan jentikan tangannya, Bastian menghentikan para pelayan yang berusaha melarikan diri dari tempat kejadian. Dia maju ke arah Isabelle, langkahnya penuh percaya diri dan tekad. Hati Isabelle, yang tadinya dipenuhi kegembiraan, seketika berubah menjadi sedingin es saat dia bertatapan dengan sorot dingin pria itu.

“Kita akan pergi ke istana kekaisaran,” kata Bastian, suaranya tidak menunjukkan kehangatan atau keramahan apa pun.

"Saya akan mengantar Anda."

Kata-kata itu diucapkan dengan sangat efisien, membuat air mata mengalir deras di pipi Isabelle. Dia diliputi emosi karena pengabaian yang begitu kejam pada pertemuan yang telah diidamkannya.

“Tidak, aku tidak akan menurutinya,” teriak Isabelle, tangannya gemetar saat dia mencengkeram lengan baju Bastian.

"Aku baru saja melarikan diri dari tempat itu, dan menempuh jalan yang melelahkan untuk sampai kepadamu. Kau tidak tahu apa-apa tentang yang telah cobaan kualami.”

“Tentu, kelihatannya begitu,” ejek Bastian, bibirnya melengkung membentuk seringai menghina.

Kebingungan yang dulu menghiasi wajah Isabelle sebagai seorang putri yang menyamar kini digantikan oleh rasa jijik. Bastian tidak dapat memahami apa yang mungkin mendorong sang putri untuk melakukan upaya bodoh seperti itu, atau bagaimana dia mengumpulkan keberanian untuk mewujudkannya. Dia merasakan sedikit rasa kasihan pada kaisar, yang akan segera terlibat dalam kekacauan ini, dan putra mahkota Belov, yang ditakdirkan untuk menikahi putri gila demi kerajaannya.

“Anda sedang dalam pencarian dan Kaisar akan segera datang,” Bastian memperingatkan, suaranya tegas. “Anda harus pulang sebelum beliau tiba.”

“Bastian, aku mohon padamu, katakan yang sebenarnya padaku,” pinta Isabelle, keras kepala. “Apakah kau masih melihatku sebagai anak kecil? Aku paham mungkin terlihat seperti itu ketika kita pertama kali bertemu, tetapi aku jamin, hari-hari itu sudah lama berlalu.”

Isabelle melemparkan topinya dengan penuh gaya, dan benda itu mendarat dengan bunyi yang dramatis di lantai marmer.

“Lihat aku, Bastian,” katanya, suaranya terdengar penuh tekad. “Aku bukan anak-anak lagi, tetapi seorang wanita dewasa. Dan aku siap mengorbankan mahkotaku untukmu, tanpa ragu-ragu!”

“Yang Mulia, apa urusannya dengan saya apakah Anda seorang anak-anak atau wanita dewasa?” Bastian menatap Isabelle, matanya bersinar polos.

"Apakah karena status di kerajaan? Perbedaan pangkat kita? Itukah sebabnya kau tidak bisa melihat ke dalam dan mempertimbangkan keinginan hatimu?” Isabelle bertanya, suaranya dipenuhi rasa frustrasi.

“Menjadi seorang putri itu beban yang berat, Bastian,” katanya, suaranya penuh drama.

“Betapa inginnya aku melepaskan gelar ini, andai saja saya bisa.” Isabelle memperagakan kesedihan yang menyayat hati, memainkan peran sebagai pahlawan wanita yang tragis.

Bastian - OdetteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang