"Lo ... sering lakuin hal ini?"
Pertanyaan Carel meluncur begitu saja bebarengan dengan kancing kemeja Xena yang tertutup. Gadis itu menoleh, wajahnya merah padam, menjalar sampai kedua telinganya. Bodoh. Dia benar-benar sudah mempertontonkan tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun pada tiga lelaki sekaligus. Xena serasa ingin tenggelam ke dasar laut terdalam.
Apalagi ... Carel pun ikut menyaksikan bagaimana Xena yang begitu kotor sekarang ini. Dia tidak bisa mengatakan apa pun. Beberapa kali pun Xena menelan ludah, rasa kering di tenggorokannya tak akan pernah hilang. Apalagi sekarang dia mendapat tatapan jijik dari Carel. Sungguh, ini membuat Xena kian malu.
"Kenapa diem aja?" Carel tersenyum miring. "Lo malu, ya? Dibayar berapa lo sama Dhava? Or ...." Mata Carel menyipit. "Free?"
Xena menggigit bibir bawah. Matanya melirik Dhava, akan tetapi reaksi pemuda itu biasa saja. Tetap dengan wajah tenang, sekalipun ada bekas keunguan menjalar di sekitar pipi, darah di sudut bibir dan juga pelipis.
Xena membuang muka. Carel menarik napas pelan, sebelum melepas jaket yang melekat di tubuhnya. Kemudian begitu saja melemparnya tepat menghantam punggung kecil Xena yang bergetar. Wajah Jiken menunjukkan jika cowok tinggi itu cukup terkejut akan perlakuan saudaranya.
Xena masih belum bisa mencerna apa pun, terutama pada jaket abu-abu yang menempel di punggung, sampai menutupi bagian kepalanya. Belum sempat cewek itu berbalik, sudah ada Carel yang berdiri di sana.
Kedua telapak tangan cowok berambut hitam legam itu menahan bahu Xena, membiarkan cewek itu tetap berdiri membelakangi. Tubuh cewek itu benar-benar menegang, sampai rona merah kembali merayap ke wajah dan dua telinganya.
Jantung Xena berdegup kacau, bahkan kian bertambah kencang ketika bisikan Carel menyapa indera pendengarnya. Serak dan berat, membuat gadis itu menelan ludah. Spontan menggigit bibir bawahnya, lagi.
"Hide nothing from me! Just open your mouth, tell the truth."
Telapak tangan kanan Carel terangkat, menepuk-nepuk puncak kepala Xena. Tubuh gadis itu masih tetap dalam posisi sama, tidak menghentikan atau menahan langkah Carel yang mulai menjauh. Nampak santai sekarang berdiri di samping Dhava dengan tangan masuk saku celana.
Carel menaik-turunkan kedua alis. "She's a hot, Bro. Nggak heran sih, kalo lo ampe gempur dia di kamar mandi."
Carel menyeringai. "Gimana kalo gue juga cobain dia? Kayaknya, lo—"
Tangan Dhava mencengkeram bahu Carel, membawa tubuh mereka saling berhadapan. Alis Carel terangkat, tidak terpengaruh dengan sorot tajam dari abangnya. Cowok itu malah dengan santai tertawa.
"Lo, cemburu, ya? Duh! Sorry banget. Tenang aja. Gue nggak bakal ambil cewek lo, kok. It's okay."
"Shut, the fuck up! Nggak seharusnya lo ngomong kayak gitu. Gue nggak akan pernah biarin lo—"
"Nggak biarin gue kenapa? Having sex with a bitch?" Carel tertawa. "Cuman lo doang yang boleh, gitu?"
Rahang Dhava mulai mengetat. Bukan. Dia jelas bukan menyinggung tentang Xena, atau cemburu dan tak membiarkan Carel menyentuh cewek itu. Tentu saja bukan! Sejak awal, Dhava tak pernah peduli dengan Xena. She's just his toy, sementara Carel adalah dunianya.
Jadi, walau ada banyak hal, banyak ungkapan tegas yang sudah bersiap di tenggorokan Dhava, dia pada akhirnya hanya bisa melirihkan vokal. Bebarengan dengan cengkeraman di bahu Carel yang mulai longgar.
"Don't do that. Maafin Abang, ya?"
Carel tersenyum sarkas. "Not me, Dude. Lo nggak ada buat salah sama gue. Kenapa harus minta maaf? And then, what about the girl?"
Dhava menggeleng pelan. "Just bitch!"
Mungkin, jika suara Dhava tak sampai ke telinga Xena, dia pasti tidak akan memakai jaket dari Carel, memungut tasnya dan berjalan mendekat. Dan untuk yang entah keberapa kali, jantung Xena dibuat berdegup kencang hanya karena jaraknya dengan Carel terlalu dekat.
"Sorry."
Tidak ada kata lain. Sorry. Hanya itu, dan Xena membungkuk sopan sebelum berderap pergi. Dia ingin berbalik ketika sudah sampai di ambang pintu. Hanya untuk memastikan bagaimana ekspresi wajah Carel sekarang. Hanya dia. Tapi walau begitu, Xena tetap membawa kakinya terus berjalan. Tidak lagi berbalik.
"Nah, Bro. Lo bener-bener udah bikin dia sakit hati."
Dhava mengangkat bahu. "Apa urusan gue?"
Carel terkekeh. Jiken yang sejak tadi hanya diam mulai bergerak. Memegang jemari Carel dengan lembut, sangat lembut seolah apa yang dia pegang begitu rapuh. Diam-diam Carel tersenyum. Tangannya mendadak tertarik, menghindari jemari Jiken yang nyaris menyentuh.
"Jongkok, lo!"
Kening Jiken berkerut. Tapi tetap menurut dan berjongkok. Lagi-lagi, itu mengundang senyum Carel, sebelum cowok itu melompat ke punggung tegap Jiken. Melingkarkan tangan di leher si empu.
Gue nggak akan pergi. Carel lupa dengan yang satu ini. Jiken. Bagaimana hidup Carel berubah hanya dengan bersama dengan Jiken. Bagaimana Carel bisa tersenyum, tertawa lepas hanya bersama dengan Jiken. Walau Carel membenci semua isi di mansion ini, tapi tidak dengan satu orang yang memang kadang menyebalkan ini.
Carel memang benci jika Jiken sudah mengeluarkan aura dominan. Karena jujur, Carel akan sulit melawan. Tapi dengan hal itu, Carel jadi tahu jika Jiken memang sangat sayang padanya. Hidup Jiken memang hanya untuk Carel, dan senyum Carel hanya untuk Jiken.
Impas!
"Mau ke mana, nih?"
Pertanyaan Jiken seolah dapat melenyapkan banyak pikiran yang masih melayang di otak Carel. Cowok itu kian mengeratkan pelukan, membuat Jiken hanya bisa menahan napas. Urat di lehernya sampai muncul.
"Rel, jangan gini. Gue bisa mati."
Carel terkekeh. "Tidur. Gue ngantuk."
Jiken terkekeh setelah Carel sudah tak begitu erat memeluk lehernya. "Nggak jadi kabur, hm?"
Carel mengerucutkan bibir. "Lo ngejek gue, ya? Mentang-mentang gue nggak jadi kabur tadi."
Jiken terkekeh. "Canda. Ya udah, kita tidur lagi. Kali ini, gue nggak lagi deh ngurung lo lagi. Maaf, ya?"
Carel tersenyum lebih lebar kali ini. Dia benar, spekulasinya memang benar. Jiken memang hidup untuk Carel. Tuhan menciptakan Jiken untuk selalu ada di sisi Carel. Dan begitupun sebaliknya, Carel akan selalu ada di sisi Jiken.
"Gue marah, sih. Pengen minggat aja. Tapi nggak tega juga sama lo. Jadi, gue maafin, deh."
Jiken dan Carel terlalu asyik dengan dunia mereka. Sampai sosok di belakang benar-benar terabaikan. Interaksi mereka berdua sangat manis, terlalu manis sampai membuat Dhava tanpa sadar mengepal kuat kedua tangannya.
Dhava tidak suka saat Carel lebih bisa tersenyum sama orang lain dibanding dirinya. Dhava hanya ingin Carel tersenyum untuknya. Tapi sekarang, Dhava menyaksikan sendiri bagaimana Adik kandungnya terlihat bahagia dengan orang asing.
"Jiken. Lo udah ambil apa yang menjadi hak gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
CAREL
Подростковая литератураCarel Buana, remaja laki-laki yang hidup dalam kesendirian dari sejak kecil. Sang Ibu sudah meninggal, dan dia tak tahu tentang siapa sang Ayah. Kehidupan Carel tidak jauh-jauh dari hal 'toxic'. Tiap kali, dia harus berurusan dengan yang namanya sal...