Chapter 63

281 36 14
                                    

"Lo ... nggak diapa-apain Renka, 'kan?"

Carel memutar bola mata. Walau dengan raut malas yang amat kentara jelas, dia memberikan jawaban. Dengan santai mengusap kedua lengannya sendiri. Tapi wajahnya tetap datar dan tenang, seolah jawabannya yang diluar nalar ini sangat biasa.

"Gue diperkaos sama dia. Ngeri banget. Untung gue masih bisa jalan. Ngeri banget si Renka itu. Brutal banget."

Selanjutnya, seringai kecil nampak terlihat di kedua sudut bibir Carel. Sorot jahilnya benar-benar terlihat jelas di manik hazel itu. Berbanding terbalik dengan Jiken yang cukup membuat Carel langsung meledakkan tawa.

Lihat saja sekarang. Rahang yang mengeras, mata yang menyorot tajam, seolah bisa saja menghancurkan apa pun yang ada di depan pandangannya. Belum lagi tangan yang mengepal sangat kuat, bahkan sampai kuku-kukunya menusuk telapak tangan.

Cairan merah kental bahkan sudah merembes keluar, mengotori sebagian telapak tangannya. Terlihat sebab tangan Jiken berada di atas meja. Carel tidak tega juga. Akhirnya, jemarinya meraih pergelangan tangan Jiken.

"Lo tuh kebiasaan apa gimana, sih. Gini aja lo udah emosi. Gue bercanda, lah. Mana mungkin Renka lakuin itu. Gitu-gitu juga gue tahu, si Renka tuh sukanya donat, bukan terong. Ngawur aja pikiran lo!"

Jiken terkekeh. "Lo kayak udah kenal banget ya, sama dia. Gini aja lo malah jadiin candaan. Gue serius, Rel!"

Carel berdecak. "Ah elah, Ji. Gitu aja lo ngambek. Baperan! Gue cuman bercanda, biar nggak sepaneng."

Jiken menarik tangannya, berganti dirinya yang menggenggam kedua tangan Carel yang sangat kecil. Tubuhnya condong ke depan, mempersempit jarak di antara mereka. Nyaris saja Jiken akan menendang meja itu menjauh.

"Gue nggak suka lo ngomong kayak gitu lagi." Jemari Jiken memberikan usapan lembut di sebelah pipi Carel yang tirus. "Jangan coba-coba pancing emosi gue lagi, Rel."

Carel mengangkat sebelah alis. "Lo ... aneh."

Genggaman tangan Jiken kian erat. Tubuhnya pun kian condong. Jarak di antara mereka pun nyaris saja dekat jika tak ada meja. Terasa menyesakkan sebab aura Jiken yang lagi-lagi terasa menguar kuat. Tangan Carel di genggaman tanpa sadar terkepal cukup kuat.

"Hm?" Suara Jiken seperti gumaman, cukup memabukkan. "Apanya yang ... aneh?"

Carel berusaha menarik tangannya, tapi tak bisa. Cukup sulit. Kekuatan Jiken benar-benar kuat. Cowok itu hanya bisa menarik napas pelan.

"Jauhin tangan lo."

Jiken menyeringai. "Kenapa gue harus lakuin itu?"

Carel mengangkat pandangan. Menelan ludah tanpa sadar ketika matanya bertemu dengan sorot Jiken yang, nampak aneh. Seolah, ada kilatan memabukkan di sana. Dan itu, adalah kilatan obsesi yang begitu membara. Bersamaan dengan genggaman tangan Jiken yang melonggar.

Tapi tak berlangsung lama. Sebab, detik berikutnya, Jiken langsung berdiri dan menarik tangan kecil Carel. Ambruk sudah tubuh kecil itu ke dada bidang Jiken. Ingin menarik diri pun sangat sulit, sebab Jiken masih menggenggam tangannya, dan hanya menggunakan satu tangan. Catat! Satu tangan!

Telapak tangan Jiken beralih dari genggaman Carel, sekarang menarik pinggang Carel. Satu tangannya lagi meraih belakang kepala Carel, menariknya hingga kening mereka bersentuhan, juga hidung. Menikmati sentuhan menenangkan ini dengan mata terpajam.

Tapi tidak dengan Carel yang mulai tidak nyaman. Sialan! Ini mengerikan. Carel tidak suka dengan skinship yang berlebihan ini. Sedari dulu, sampai sekarang pun, Carel tetap membenci skinship seperti ini. Sangat menggelikan dan membuatnya tak nyaman.

"Lepasin gue. Ken, lo bener-bener aneh. Ngeri anjing gue kalo lo kayak gini!"

Jiken membuka mata, memberikan sorot tajamnya yang mengerikan. Telapak tangannya kian menarik kepala Carel. Nyaris saja bibir mereka bersentuhan, tapi Carel berusaha agar itu tak terjadi.

Cowok itu berusaha untuk menahan kepalanya agar tak terlalu mendekat. Mengabaikan tatapan Jiken yang setajam silet.

"Lo panggil gue apa tadi? Gue nggak suka!"

Carel berdecak. "Anjir. Ck, Ji! Lo kenapa, sih! Gue nggak suka lo yang kayak gini!"

Carel mendorong dada bidang Jiken, menarik diri menjauh. Sebelum Jiken benar-benar kembali menarik dirinya, Carel sudah lebih dulu melangkah mundur. Berjarak dua langkah dari Jiken berdiri sekarang.

Carel berdecih. "Lo jangan kayak gini! Kenapa kalian semua aneh gini, sih? Nggak lo, nggak Renka, nggak Sakya. Semua sama aja! Aneh! Buat ngeri anjing!"

Jiken mengepal kuat kedua tangan. "Gue cuman pengen lindungin lo. Gue nggak mau lo sampe kenapa-napa."

Carel terkekeh sarkas. "Kayak gini caranya? Lo bener-bener aneh tahu nggak. Kalo yang lo giniin cewek lo, it's okay, itu normal. Tapi ini gue! Lo perlakuin gue kayak gini, seakan gue cewek, anjing!"

Jiken memainkan lidah di rongga mulut. Bibirnya menyeringai. "Emang, faktanya, gitu. Lo ... cantik."

Carel hilang kesabaran. Cowok itu mengeraskan rahang, menggigit bibirnya cukup kuat. Jiken belum siap ketika cowok mungil itu menendang tepat di selangkangan. Tepat di mana masa depannya berada.

Jiken langsung ambruk ke lantai. Carel dengan santai berjongkok, meraih dagu Jiken dengan paksa. Cowok itu bahkan tidak segan memberikan bogeman di wajah tampan itu.

"Gue masih punya attitude buat nggak ngeludahin lo ya, anjing! Beruntung gue nggak sampe patahin burung lo!"

Jiken terkekeh. "Sadis banget. But, i like it."

Carel mendorong Jiken, sebelum beranjak dan meninggalkan kamarnya. Biarkan saja Jiken ada di kamarnya. Carel tinggal pergi, menjauh darinya. Akan tetapi, Carel mendadak tak bisa membuka pintu.

Carel menarik napas pelan. "Mana kuncinya, Ken?"

Jiken dengan susah payah beranjak berdiri. Menyeka cairan merah kental di sudut bibir dengan punggung tangan. Kemudian melangkah dekat dengan sebelah tangan masuk saku celana. Diam, tak memberikan jawaban, selain hanya menampakkan seringai kecil.

Carel berdecak. Cowok itu mencoba untuk membuka pintunya dengan paksa. Menendangnya cukup kuat, sampai menimbulkan suara yang cukup keras. Terdengar dari luar.

"Anjing! Ken! Buka. Pintunya, cepet!"

Jiken sudah berdiri di belakang Carel. Telapak tangannya berada di atas kepala Carel, mengusapnya lembut penuh kasih sayang.

"Udah, biarin aja. Lo nggak bakal bisa keluar. Dan ini lebih baik buat lo."

"Baik? Buat gue?"

Carel terkekeh sarkas. Berbalik tubuhnya, menghadap Jiken yang berdiri menjulang tinggi. Memberikan sorot tajam dari manik Hazel.

"Apanya yang baik buat gue, anjing?"

Jiken tersenyum. "Biar nggak ada lagi para bangsat itu yang mau ambil lo dari gue."

Carel tak bisa lagi berkaca-kaca, hanya bisa diam. Bahkan ketika Jiken menarik kepalanya hingga bersender pada bahu tegap itu. Sementara Jiken tersenyum sambil menepuk-nepuk kepala Carel.

"Ini lebih baik. Lo akan aman kalo tetap di sini. Nggak akan ada lagi yang bisa ambil lo dari gue. Dan lo, bakal selalu ada disisi gue."

CARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang