"Kok gue jadi heran sama sesuatu, ya?"
Suara Carel keluar setelah hampir lima menit melangkah bolak-balik di depan pintu. Siapa tahu, dua abangnya itu datang, sadar jika adiknya ini tidak nampak batang hidungnya.
Tidak ada niat sama sekali bagi Jiken untuk menjawab pertanyaan yang keluar tiap sepuluh menit sekali itu. Sibuk dirinya dengan beberapa buku yang sudah berhasil ia baca hari ini. Tidak membiarkan matanya istirahat—padahal sekarang ini jujur saja, ia sudah cukup lelah. Tapi jika tidur, Carel pasti akan menjadikan ini sebagai kesempatan untuk keluar.
Carel kembali mendekati pintu, menempelkan sebelah telinganya di sana. Dan, tak ada suara langkah kaki atau suara-suara yang mungkin dibuat oleh Sakya ataupun Dhava. Sebenarnya, di mana mereka sekarang? Tidakkah mereka khawatir dengan sosok yang masih terjebak di kamar ini?
"Percuma lo di situ. Ini udah malem. Sampe lo lumuten pun, nggak bakal ada yang dateng. Udah, mending sini, tidur."
Carel memasang wajah sangat amat sinis. Sama sekali tidak mempengaruhi wajah Jiken yang masih biasa-biasa saja. Tetap mengumbar senyum tiap kali mereka bertatapan.
Berhubung tubuh yang sudah memang lumayan lelah—sebab sering bolak-balik tidak jelas di depan pintu, akhirnya, walau dengan langkah berat, Carel mendekati ranjang. Merebahkan tubuhnya tengkurap di samping Jiken duduk saat ini.
Kepala Carel tenggelam di bantal, agak tidak nyaman juga. Napasnya serasa ditarik paksa oleh Yang Maha Kuasa. Sampai dirinya pun dibuat engap sendiri. Beruntung Jiken yang pekanya minta ampun langsung menarik tubuh Carel, dan jadilah cowok mungil itu terlentang di ranjang.
"Lo mau mati?"
Pertanyaan Jiken ini sangat lempeng sekali, retoris. Seolah itu memang ungkapan fakta, yang memang akan Carel lakukan. Sial sekali Carel harus berada di sini bersama si jangkung. Sungguh memuakkan, juga merasa bosan.
Carel berdecih, memutar bola mata. "Ngarep ya, lo? Pengen gue mati?"
Jiken terkekeh, apa pun yang Carel ucapkan selalu lucu di telinganya. Sekalipun dengan nada tegas, atau ditambah dengan geraman, tetap saja Carel ini seperti seekor kucing imut yang sangat menggemaskan. Bukti daro bagaimana wajah cemberut Carel yang lebih mirip kucing pundung.
"Nggak, lah. Gue nggak bisa hidup tanpa, lo, Rel."
Ada perasaan yang hinggap begitu saja. Jangan salah paham! Ini bukan terharu atau senang, tetapi rasa muak yang teramat sangat. Carel mulai paham, jika perasaan Jiken ini sudah seperti sebuah obsesi. Hanya saja, Carel tak ingin mengakuinya dengan cepat. Ini, terlalu aneh jika benar.
Cowok terobsesi dengan cowok? Wait! Apakah itu sesuatu yang normal? Sebab, belum pernah Carel bertemu dengan orang yang menyimpan perasaan gila ini, selain Jiken yang mulai Carel rasakan. Atau mungkin ... juga Sakya?
Bagaimana dengan Dhava? Entahlah. Jika Abang kandungnya itu, jika menurut Carel masih batas wajar untuk perhatian seorang Kakak pada adiknya. Tapi entahlah. Akhir-akhir ini, Carel pun merasa aneh dengan tingkah laku abangnya itu. Apalagi setelah kejadian kemarin dengan Xena.
Dhava gila! Cowok itu kemarin benar-benar nyaris akan membunuh anak orang orang. Jika memang jahat atau habis melakukan tindak kriminal yang diluar batas, tak apa Dhava melakukan itu. Tapi, ini Xena hanya caper, terus nempel dengan Dhava. Apa salahnya dengan itu?
"Kenapa langsung diem?"
Suara berat Jiken menyandarkan otaknya untuk kembali ke dunia nyata. Sial! Karena perilaku aneh Jiken, Carel jadi berburuk sangka dengan abang-abangnya. Walau, itu jelas bukan semata pikiran buruk, tapi memang itu sebuah fakta yang harus dihindari.
Carel mengangkat bahu, jangan sampai Jiken tahu isi pikirannya yang mulai aneh penuh dengan pemikiran negatif. Jadi, ia berusaha untuk tetap tenang, dengan lebih santai meletakkan dua tangan yang terlipat di belakang kepala. Menggunakannya sebagai bantal.
Sementara Jiken mulai mengangkat sebelah tangannya untuk memberikan usapan lembut di puncak kepala Carel. Semoga saja dengan melakukan ini, bocah ini akan bisa tidur nyenyak. Dan Jiken pun juga bisa ikut istirahat. Karena Jiken tahu, jika Carel pertamanya sudah tidur, maka cowok itu akan sulit dibangunkan. Jadi Jiken akan aman.
Jiken tersenyum, mendekatkan bibir tepat di puncak kepala Carel. "Good night, my prince." Terakhir, bibir tebal Jiken mengecup puncak kepala Carel.
Ini benar-benar aneh. Carel ingin bertanya pada siapapun. Apakah perlakuan seperti ini normal? Jika dengan perempuan, Carel tak akan banyak bertanya dan justru menikmati perlakuan hangat seperti ini. Tapi yang sekarang ini, si Jiken!
Atau mungkin, memang karena Carel tidak suka dengan yang namanya skinship. Apalagi sampai berlebihan seperti ini. Itu otomatis akan membuat tidak nyaman. Tapi untuk saat ini, Carel hanya ingin menutup mata. Menunggu Jiken juga ikut melakukan hal yang sama.
Dan ketika hampir setengah jam lamanya, Carel akhirnya membuka matanya kembali. Celingak-celinguk sebentar, dan lampu di kamar ini sudah mati—kecuali lampu tidur di atas nakas yang masih menyala aman. Suasana pun mulai sedikit horor, sebab lampu tidur ini memang hanya remang-remang saja.
Tapi, Carel tetap tidak peduli dan mulai akan beranjak bangun. Sayang sekali, ada tangan besar yang melingkar di pinggangnya. Memang menyebalkan luar biasa si Jiken ini. Apakah Carel sudah mirip dengan sebuah guling?
Carel berdecak. "Pengen banget gue mukul lo, Ji. Untung aja stok kesabaran gue masih ada."
Sangat pelan sekali Carel berusaha untuk menyingkirkan lengan Jiken. Selanjutnya, cowok itu mulai memeriksa tiap saku baju Jiken. Dan tepat di saku celana bagian kiri, kunci kamar ada di sana.
Ini aneh, sebab di jam malam begini Carel malah ingin keluar alih-alih kembali tidur. Mungkin, karena ini kesempatan emas. Sebab, besok belum tentu Carel bisa melakukan ini. Malah, rasanya akan sangat mustahil.
Carel menyeringai, menatap kunci di tangan dengan wajah berseri. "Tuhan emang baik."
Carel dengan sengaja meletakkan guling di samping Jiken, sebelum beranjak dan keluar dari kamar. Tak lupa, dirinya kembali mengunci pintu. Biarkan Jiken berada di sana sampai mati kelaparan.
Eh! Tidak, tidak. Sampai mood Carel kembali bagus saja. Kasihan kalau Jiken sungguh akan mati hanya karena kelaparan. Tidak elit sekali gaya matinya.
"Akhirnya, setelah sekian lama, gue bisa bebas!"
Di awal anak tangga, Carel celingak-celinguk. Suara jam dinding yang berdetak seolah ingin mewakili semua penghuni rumah yang sudah tidur sekarang. Benar-benar sepi dan juga gelap.
Carel menarik napas pelan. "Dahlah. Ke kamar Dhava aja."
Cowok itu melangkah gontai ke kamar abangnya. Mengetuk pintu, dan tak ada sahutan sama sekali.
"Anjing! Gue dobrak juga nih pintu lama-lama!"

KAMU SEDANG MEMBACA
CAREL
Teen FictionCarel Buana, remaja laki-laki yang hidup dalam kesendirian dari sejak kecil. Sang Ibu sudah meninggal, dan dia tak tahu tentang siapa sang Ayah. Kehidupan Carel tidak jauh-jauh dari hal 'toxic'. Tiap kali, dia harus berurusan dengan yang namanya sal...