The Bloody Opera

10.1K 800 56
                                    


Warning (!)

Tekan Vote sebelum membaca! Hargai karya Author dengan meninggalkan jejak! 👣

Terima kasih 👌

--- Opera Berdarah ---

Siang ini, seorang gadis duduk bersilang di balik meja kerjanya. Tumpukan lembaran berkas yang menunggu untuk di selesaikan berjejer acak di depannya, menumpuk bersama laptop menyala dan segelas kopi yang tampak belum tersentuh.

Sepasang kelereng malam milik gadis bersurai panjang itu tampak memicing, melirik tak minat pada lembaran berkas yang dia pegang. Jari tangan kanannya menjepit sebuah bolpoin hitam, sesekali mengetuk permukaan meja, tanda ia sedang gusar.

Clue membuang napas jenuh, gadis itu memutar tubuh, lalu melempar pandang getir ke arah jendela yang menunjukkan pemandangan kota di bawah amukan mega.

Demi apapun, Cuaca siang ini benar-benar panas. Musim panas di Monourea telah tiba, dan suhu kali ini bahkan mencapai 104 °F!

Sungguh suhu yang sangat ekstrim, mengingat ia tengah berkutat dengan segala macam berkas dan proposal yang tentunya ikut andil dalam kejengahan belakangan ini.

Dengan sekali sentak, telapak tangan Clue bergerak menyeka peluh di dahi sebelum menghempas punggung pada sandaran kursi panas. Antara fokus atau tidak, matanya melirik tajam pada AC di sudut ruang kantor. Hembusan hawa dingin dari AC di tempat itu bahkan tidak mampu mengenyahkan penat dan pengap yang dia rasakan.

Apa benda itu bermasalah?

Atau memang cuacanya yang kelewat bermasalah?

Di saat seperti ini, rasanya otak Clue menciut tajam dan drastis. Terbukti dengan menurun fokus mata pada berkas dan layar monitor yang sedang menunggunya. Tangan kanan yang semula memegang bolpoin kini beralih melonggarkan kerah seragam. Clue menghela napas kembali. Cuaca kali ini benar-benar membuatnya tersiksa, hingga kegiatan menghela napas berkali-kali menjadi salah satu pilihan.

"Sepertinya kau tidak menikmati musim panasmu, Petugas?" suara bariton mengintrupsi perhatian Clue, membuat petugas baru itu melempar tatap pada sumber suara. Siapa lagi kalau bukan sang atasan, Lucious David.

Dalam satu momen pria itu menarik sudut bibirnya, memamerkan senyum khas yang menghiasi wajah rupawan itu. Namun Clue bergeming dan memilih mengabaikan ucapan David secara verbal, sebab pikirannya justru telah tertawan akan khayalan Pie Cokelat kesukaannya. Seberapa berat perjuangan para Pie yang terpanggang dalam oven bersuhu ekstrim, lalu setelah matang, Clue dengan nikmat melebur Pie malang itu dalam mulut hingga berbentuk mengenaskan. Ironis memang.

Tapi seberapa besarpun cintanya pada si lezat itu, tentu tak membuat dirinya bersedia mengalami hal yang serupa dengan para Pie malang itu...

... Yakni, terpanggang di dalam kantor.

Seraya meraih selembar berkas dan mengibaskan pada leher jenjangnya, mata cantik Clue melirik David getir, "Ya, kau benar, Inspektur. Aku sama sekali tak menikmatinya. Aku jadi heran, mengapa banyak sekali orang yang menantikan musim Neraka seperti ini..."

David melebarkan senyum kemudian tertawa mendengar ucapan Clue yang terdengar seperti rengekan. Wajah dan sikap datar yang menjadi ciri khasnya, sama sekali tak singkron dengan hal itu.

Percayalah, wajah mitra barunya terlihat lucu saat ini, apalagi dengan rona merah kepanasan yang mulai mewarnai kulit pucatnya.

Di sisi lain gadis itu menaikkan alis, memandang tawa sang atasan dengan bingung. Apa ucapannya terdengar seperti lelucon hingga mengundang tawa bagi sosok tegas itu?

Detective Clue : Law And CrimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang