18. Talk.

34.7K 3.7K 61
                                    

Aku melangkah gontai ke lantai dua butik tempat aku bekerja selama ini. Seharusnya aku menerima tawaran kak Alle untuk beristirahat. Lihat saja sekarang, aku seperti mayat hidup yang berjalan tanpa semangat.

"Ah, There you are." Suara Louisa sudah terdengar saat aku baru membuka pintu tempat kerjaku. Tidak berapa lama kemudian, Louisa sudah berdiri di dekatku. "Ada apa denganmu? Kau terlihat berantakan."

"Aku kurang tidur." Jawabku jujur.

"Apa kemarin pestanya meriah? Ah siapa yang mengirimimu undangan itu? Apa dia juga yang mengirimimu bunga? Lalu kenapa kau kurang tidur? Ah... jangan katakan kau dan si pengirim itu menghabiskan malam dengan saling menghangatkan di- Kelly! Aku sedang bicara denganmu!!" Teriak Louisa membuat semua orang di ruangan ini menatap kearahku.

Aku duduk di meja kerjaku, lalu merebahkan kepalaku disana, memejamkan mataku sejenak.

"Tebakanku benar, ya? Kau dan si pengirim itu semalam... katakan! Siapa penggemar misterius mu? Lalu bagaimana semalam? Sepertinya dahsyat sekali sampai kau kelelahan seperti ini." Louisa sudah duduk di sebelahku tanpa mempedulikanku yang sedang memejamkan mata, dia masih membombardirku dengan pertanyaannya yang tidak masuk akal.

Aku menegakkan tubuhku kemudian berdesis, "Lou! Apapun yang ada di pikiranmu sekarang, itu hanya mitos. Aku tidak melakukan apapun yang kau tuduhkan, dan tidak, kurasa yang mengirim undangan kemarin dan penggemarku, bukan orang yang sama. Dan kenapa aku terlihat kelelahan? Karena aku hampir masuk ke perangkap laki-laki brengsek." Jawabku berharap bisa memuaskan rasa penasaran Louisa, tetapi aku salah.

"Benarkah? Jadi kau sampai sekarang masih perawan? Lalu, Lelaki brengsek? Siapa? Apakah Sean, atau laki-laki manis yang pernah kesini itu? Siapa namanya? Joo... Jordan?"

"Joshua, Lou." Jawabku seraya memutar bola mataku.

Siapa lelaki brengsek yang ku maksud. Tentu Sean. Aku melihat sendiri bagaimana intimnya dia dengan perempuan lain, tetapi dia masih saja berlagak seperti pemuda lajang yang bebas menggoda kanan dan kiri. Dan hebatnya, kemarin Joshua malah tidak terlihat brengsek sama sekali. Malah Joshua yang menolongku dari pria hidung belang, kan?

Ahhh pemikiran itu lagi! Aku kembali merebahkan kepalaku di atas meja dan menyentaknya beberapa kali, berharap satu atau dua ketukan ringan di keningku bisa membuatku amnesia mendadak.

"Jadi benar? Joshua yang mengirimimu semua itu? Ahhh see!tebakanku benar, kan!" Pekiknya kegirangan.

Biarlah Louisa salah paham, toh aku juga sedang tidak berminat membalas, atau menjelaskannya.

Kemudian aku berpikir, Aku tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaanku disini dengan bombardir pertanyaan Louisa. Aku harus mencari tempat tenang untuk meluruskan otakku, menenangkan jantungku, dan menyadarkan diriku.

Aku berdiri dari kursiku dan mengambil seluruh barang yang ku perlukan tanpa menatap Louisa, aku berkata, "Aku sepertinya akan bekerja diluar hari ini. Kalau ada keperluan, kau bisa menghubungi ponselku."

"Kau mau kemana?" Tanya Louisa mengernyit melihatku.

"Mencari udara segar. Tolong, ya." Pintaku lalu berjalan ke arah pintu ruangan kantorku.

Aku tidak peduli untuk sekarang kalau mereka berkata aku seenaknya karena menggunakan privilage cardku sebagai keponakan pemilik butik. Aku memang butuh udara segar untuk sekarang ini.

Aku berjalan melewati meja Daniella, menyapanya tanpa menatap wanita itu karena aku sibuk mencari kunci mobil di tas selempangku. Begitu ketemu, aku mengadah, mendorong pintu butik keluar lalu langkahku terhenti, kunci mobil yang di genggamanku terjatuh hingga menimbulkan bunyi nyaring.

"Hai." Laki-laki brengsek yang ingin ku lenyapkan dari pikiranku kini berdiri nyata di hadapanku. Tersenyum dengan senyumnya yang sering ku katakan menggemaskan itu, dan berdiri tegap dengan sebelah tangan yang dijejalkannya di saku celana.

Sean?! Aku mengerjapkan mataku, antara percaya dan tidak percaya, tetapi aku harus percaya karena sosok Sean tidak mengabur sedikitpun melainkan semakin nyata, dan semakin dekat kearahku, berdiri di hadapanku setelah mengambil kunci mobil yang ku jatuhkan tadi.

"Kau pergi tanpa mengabariku kemarin. Aku hanya ingin memastikan kalau kau baik-baik saja."

Terlalu dekat. Sean berdiri terlalu dekat. Omel batinku. Mataku seakan menjuling menatap dada bidangnya yang berada tepat di depanku sekarang.

Beruntung Sean melayangkan kunci mobil di depan wajahku hingga aku tidak terus-terusan menatap dadanya dan pemikiran untuk merobek kancing kemejanya masuk ke pikiranku. Oh apa aku barusan memikirkannya?

"Kau mau kemana?" Tanya Sean.

Aku mengerjap dan mengadah. Darahku seperti mendidih melihatnya dalam jarak sedekat ini. Aku spontan mengambil kunci mobilku dan berjalan mundur.

"A-aku? Ah... aku kira aku melupakan kunci mobilku tadi. Ternyata ada di dalam tasku." Aku tertawa garing. Alasan macam apa itu barusan? Aku menggigit bibirku sendiri sambil merutuk, menatap ke ujung heelsku karena aku merasa ujung heelsku tidak akan mengejekku sekarang dari pada menatap mata menghanyutkan Sean.

"Oh, ku kira kau mau keluar." Aku mendengar suara Sean seperti nada seseorang yang kecewa. Apa yang ku harapkan sebenarnya?! Aku ingin membunuh diriku sendiri kalau begini.

"Bagaimana bisa? Aku sangat sibuk, dan pekerjaanku masih banyak. Tidak baik kalau membolos terus, kan?" Ucapku sok diplomatis. Menatap Sean berharap Sean percaya dan segera pergi.

"Kelly! Ku kira kau sudah pergi. Aku lupa Bibimu menitipkan ini pada- oh hai."

Aku memejamkan mataku, mengumpat seluruh kalimat sumpah serapah yang kutahu pada Louisa yang secara tidak langsung mengkhianatiku.

Aku membuka mata dan melihat Sean yang mengernyitkan kening menatapku bingung.

Aku menghela nafas kemudian berbalik menatap tajam Louisa tajam sambil membalasnya dengan nada sarkastik, "Hai, Lou. Sudah ku katakan kau bisa menghubungi ponselku, kan?!" Aku melotot tajam kearahnya.

Louisa bungkam dan membuka mulutnya lagi, lalu bungkam lagi. Sepertinya dia menyadari kesalahannya barusan.

"S-sepertinya teleponku berbunyi. Aku tinggal dulu ya." Tanpa bertanggung jawab, Louisa berlari kembali masuk kedalam. Bahkan titipan dari bibi Rere saja tidak jadi dia berikan padaku.

Aku menghela nafas sambil kembali menoleh kearah Sean dan menatap ujung Heels ku lagi. Salah tingkah ketahuan berbohong.

"Jadi... kau mau kemana?" Tanya Sean terdengar ragu. "Aku boleh menemanimu? Ada yang mau kubicarakan kemarin, tetapi kau sudah pulang. Apa kau ada waktu sekarang?" Sambungnya.

Aku mendongak, melihat wajah menggemaskan yang memabukkan itu lagi dan lagi.

Bagaimana lagi cara menghindar? Yang bisa ku lakukan sekarang adalah menyanggupi ajakannya.

Padahal tujuanku keluar adalah untuk menghindari dia. Tapi kenapa aku malah terjebak bersamanya sekarang? Sangat tidak adil!

Aku hanya mengangguk sekali dan membiarkan Sean berjalan terlebih dahulu kearah mobil Audi hitam miliknya. Darimana aku tahu? Karena sekarang Sean sedang membukakan pintu untukku sambil terus menatapku lekat.

Tatapannya sungguh membuatku salah tingkah. Aku takut akan terlalu jauh terbawa arus kalau kelamaan ditatap seperti ini.

Kalau tadi aku selalu teringat adegan menyebalkan yang membuat darahku mendidih semalam, kali ini, aku harus berusaha sekuat tenaga untuk mengorek memori itu keluar, hanya sebagai tameng untuk hatiku kalau Sean pasti memiliki maksud lain mendekatiku disaat dia bisa bermesraan dengan perempuan lain secara terang-terangan.

***

TBC

Kelly [#DMS 5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang