53. Annoying Oppa!

33.7K 3.8K 233
                                    

"Kak, ini benar-benar tidak perlu." Aku mencoba menarik tanganku saat kak Keira menarikku turun dari mobil untuk masuk ke salah satu rumah sakit di pusat kota Los Angeles. "Aku hanya masuk angin." Tolakku.

"Meski kakak salah, masuk anginmu juga perlu di obati, kan?" Kak Keira masih bersikeras menarikku masuk bersamanya.

"Kak..." aku mulai merengek sambil menarik-narik tanganku dari tarikan kak Keira.

"Jangan bodoh, Kelly. Kalau aku benar kau hamil, yang kau lakukan sekarang adalah membahayakan janinmu!" Gertaknya membuatku sedikit terkejut karena kak Keira tiba-tiba berbalik. "Koperatif sedikit padaku, ok? Aku bukan kak Kenneth!" Kak Keira kembali berbalik dan kali ini aku membiarkannya menarikku.

Bagaimana ini? Aku tidak mungkin hamil, kan? Aku menggigit bibirku. Kami memang melakukannya berkali-kali, tapi aku yakin saat itu aku sedang tidak dalam masa subur. Kecuali kalau aku lupa membalikkan kalender mejaku. Tiba-tiba kemungkinan itu terpikirkan olehku hingga membuatku semakin keringat dingin. Mati aku!

Setelah mendaftarkan namaku, kak Keira mengajakku duduk di kursi ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.

Aku meremas tanganku. Beribu kemungkinan, dan akibat mulai berseliweran dipikiranku.

"K-k-kak... ba-bagaiman kalau aku benar-benar hamil?" Tanyaku tergagap.

Kak Keira melirikku sekilas, kemudian kembali menatap ponselnya. "Ya, Selamat." Jawabnya singkat. Tapi aku tidak memerlukan ucapan selamat itu, melainkan jalan keluar.

"Kak, aku serius!" Aku menggoyangkan lengan kak Keira. Gemas dengan sikap santai kak Keira disaat segenting ini.

"Ya, aku juga serius," ujarnya sambil mematikan ponsel, lalu menghadap kearahku. "Lalu kau mau aku menjawab apa? Gugurkan? Jangan gila!" Suaranya terdengar tegas dan tidak terbantahkan.

Jujur, pilihan itu tidak pernah melintas di kepalaku. Aku saja sebenarnya tidak yakin kalau aku benar-benar hamil.

"Dengar." Tangan kak Keira meraih tanganku, "Kakak tidak pernah mengira kalau kau juga akan melakukan kesalahan yang sama seperti kakak. Kakak kecewa. Tapi kalau benar kau hamil, di dalam sana," dagu kak Keira menunjuk perutku yang masih rata. "Adalah nyawa yang tidak berdosa. Yang harusnya menanggung akibat dari perbuatanmu, bukan dia, melainkan kalian sebagai pelaku pembuatannya."

Aku terdiam. Sebenarnya kak Keira tidak perlu mengatakan ini padaku, karena itu sama saja kak Keira sedang mengorek luka lamanya yang pernah kehilangan janinnya.

"Lagipula, apa yang kau pikirkan? Apa Sean memaksamu? Apa itu alasan Sean mengajakmu segera menikah?" Suara kak Keira berubah menjadi sebuah tudingan pada Sean.

Aku dengan cepat menggeleng, menepis asumsi kak Keira. "Sean tidak memaksaku," ujarku tertahan.

Alis kak Keira terangkat sebelah saat aku mengatakan itu. Matanya lalu membulat dan ternganga tidak percaya. "Astaga, Kelly! Kau yang memaksanya?"

Aku kembali menggeleng. Kalimat itu terasa seperti aku yang memperkosa Sean. Sedangkan kami memang melakukannya dengan sadar, tanpa paksaan meski aku sedikit menggoda Sean. Sedikit.

Kak Keira baru akan kembali bertanya, tapi pintu ruang periksa yang sedang kami tunggu terbuka.

"Ms.McKenzie, silahkan masuk."

Aku jadi panik ditempat. Apa ini tidak berlebihan? Aku hanya masuk angin, kan? Aku tidak mungkin hamil. Ah... tapi tidak ada alasan menunjang yang membuatku percaya kalau aku tidak hamil.

"Aku akan menemanimu. Ayo." Kak Keira menggenggam tanganku dan mengajakku masuk ke ruangan itu.

Aku menahan nafas saat menginjakkan kaki ke dalam.

***

Aku menatap kosong ke arah bunga-bunga mekar yang berada di taman rumah sakit sambil sebelah tanganku mengelus perut rataku

Isinya bukan angin.

Isinya bukan Pasta.

Isinya juga bukan Air mineral.

Tapi sebuah nyawa berusia 3 minggu yang sedang tumbuh dan akan semakin tumbuh besar.

Ya Tuhan aku bisa mati!

"Sebaiknya kau segera beritahu Kekasihmu dan juga keluarga kita." Ujar kak Keira, tidak terlalu terkejut saat dokter mengatakan aku hamil. Mungkin kak Keira sudah yakin dengan asumsinya tadi.

"Apa menurutmu reaksi mereka?" Tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari depan.

"Mommy dan Daddy? Kecewa tentu saja." Jawab kak Keira datar. "Kau anak bungsu yang paling di sayang Daddy. Kehadiranmu dulu sangat di tunggu Daddy, meski ia lebih mengharapkan anak laki-laki." Kak Keira terkekeh setelah berkata demikian.

"Apa yang akan terjadi pada Sean?" Aku mengadahkan kepalaku, menatap langit-langit tanpa minat.

Kak Keira menggidikkan bahunya dan ikut mengadah. Tangannya terulur hingga aku juga bisa melihat tangannya yang hendak menggapai langit. "Kau anak kesayangan Daddy, kau cinta pertama Alexis, dan kak Kenneth adalah preman keluarga. Aku tidak yakin nasib Sean akan semujur Nicholas yang bisa lolos hanya dengan luka lebam dan pingsan beberapa menit."

Jawaban kak Keira seakan meng-skak-matku. Kak Keira benar. Mereka sudah mewanti Sean. Tapi mereka hanya tidak ingin Sean menyakitiku, kan? Sedangkan aku tidak merasa tersakiti sama sekali. Malahan, aku merasa bahagia sekarang. Jadi, tidak ada alasan mereka untuk menghakimi Sean, kan?

Kak Keira menegakkan duduknya dan menoleh kearahku, "beritahu Sean. Dia laki-laki, dan meskipun dia tidak memaksamu, dia tetap harus bertanggung jawab." Kak Keira menyentuh perutku dan dia tersenyum, "apapun yang kau putuskan, jangan biarkan nyawa malaikat kecil yang menjadi korbannya."

Mataku seketika terasa panas saat melihat mata berair kak Keira. Kejadian ini pasti mengingatkannya pada pengalamannya kehilangan anaknya dulu.

Tapi kak Keira juga benar, janinku tidak bersalah.

Sepertinya aku harus meminta Sean membuat surat wasiat terlebih dahulu. Aku membatin pasrah.

"Tenang saja, kakak akan menemanimu bicara dengan Mommy, Daddy, kak Kenneth, juga Alexis. Tapi kau juga harus mempersiapkan dirimu menghadapi kekecewaan mereka. Itu tidak akan mudah." Kak Keira menatapku dan tersenyum sambil mengacak rambutku. Senyum kak Keira sedikit banyak memberikan semangat untukku.

Menyesalpun percuma. Bubur tidak akan bisa kembali menjadi Nasi.

Aku mengangguk dan menyunggingkan kecilku. Aku akan mengatakan kabar ini pada Sean malam ini.

Tapi apa yang direncanakan dan kenyataan sangat berbanding terbalik.

Sean sama sekali tidak mengangkat teleponku hari itu. Bahkan dia hanya mengirimiku pesan singkat kalau dia tidak bisa menemaniku malam ini karena ada urusan mendadak, dan memintaku untuk tidur saja.

Aku mempelototi ponselku selama 5 menit dan kalimat itu tidak berubah satu hurufpun. Aku membanting ponselku dan merutuki benda itu seakan-akan benda itu bisa menyalurkan kemarahanku pada laki-laki asia yang lebih memilih mati daripada menemuiku untuk mendengar kabar baik juga peringatanku mengenai bencana yang akan datang.

"Awas saja! Kalau kau babak belur, aku akan menertawakanmu! Dasar oppa oppa menyebalkan!"

Aku menatap perutku sambil mengerucutkan bibir, "kalau kau laki-laki, tolong jangan menyebalkan seperti ayah kalian." Lalu aku memilih untuk menggulung diriku kedalam selimut dan melupakan kekesalanku pada laki-laki manis tapi super menjengkelkan yang sialnya aku cintai.

Ahhh aku juga menyebalkan!

***

Tbc

Kelly [#DMS 5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang