31. So called, Our First Kiss ?

38.2K 4.2K 441
                                    

Aku membuka pintu apartemenku dengan susah payah. Aku mengamini keputusanku membawa Sean pulang bersamaku karena pada kenyataannya, keputusanku adalah keputusan paling tepat.

Demam Sean semakin meninggi dan Sean seperti kehilangan kesadarannya. Kalau tadi aku bisa memapahnya dengan mudah, maka kali ini aku mengalami kesusahan karena tenaga di kakinya tidak lagi bisa menahan berat tubuhnya.

Aku terpaksa meminta sekuriti untuk membantuku memapah Sean kalau aku tidak ingin meninggalkan Sean di parkiran mobil, atau menggelindingkannya di lantai hingga ke lantai atas.

"Letakkan di sini." Ujarku memberi instruksi untuk meletakkan Sean di atas kasur tidurku. "Perlahan. There... there... there you go." Aku menepuk pelan dada Sean yang sepertinya mengalami kegusaran dalam alam bawah sadarnya akibat demam yang cukup tinggi.

Aku beralih menatap sekuriti yang tadi membantuku. "Terima kasih telah membantuku." Aku mengeluarkan sedikit uang sebagai tip kepada sekuriti itu. Awalnya ia menolak, tapi setelah ku paksa, akhirnya ia mau menerimanya.

Lalu sekuriti itu berlalu, meninggalkan aku berdua dengan Sean yang tak sadarkan diri juga gelisah dalam tidurnya.

Bajunya basah oleh keringat yang terus keluar dari pori-pori tubuhnya.

Ini bukan pertama kali aku mengurus laki-laki yang demam. Aku pernah mengurus Alexis yang demam waktu retreat sekolah kami dulu. Jadi aku kurang lebih mengerti apa yang harus ku lakukan sekarang.

Tapi masalahnya aku ragu. Karena laki-laki di hadapanku ini bukan Alexis.

Sean mengerang kecil, membuatku tersadar dan menghela nafas kecil. "Ini bukan saatnya memikirkan perasaanku juga kesalahan Sean. I can either kill him or Heal him." Ucapku meyakinkan diriku untuk ke kamar mandi dan menampung air hangat di baskom, juga meraih handuk kecil untuk membasuh tubuh Sean.

Aku meletakkan baskom berisi air hangat itu di atas nakas, lalu aku duduk di sisi tubuh Sean. Perlahan aku memperhatikan wajah laki-laki itu, mengamatinya dan melakukan perang terakhir dengan hatiku untuk melakukan ini.

Begitu memastikan kemenangan hati nuraniku untuk merawat Sean, aku bergerak untuk melepas sepatu juga kaus kaki Sean, lalu kembali berjalan ke arahnya dan menyentuh kancing teratas kemeja Sean.

Aku meneguk ludahku sendiri dan dengan perlahan, aku membuka kancing itu satu persatu. Hingga seluruh kancingnya terbuka dan roti sobek yang selama ini di sembunyikan Sean dibalik kemejanya terlihat nyata di depanku.

Kali ini aku ikut-ikutan berkeringat, tetapi bedanya keringatku adalah keringat dingin.

Tanganku perlahan menyentuh kulit telanjang Sean, mengagumi bidangnya dada yang pernah membuatku nyaman berada dalam pelukannya.

Kekaguman itu tidak berlangsung lama karena aku kembali tersadar akan tujuanku menelanjangi Sean.

Aku melepaskan kemeja Sean dan melemparnya ke keranjang cucian lalu meraih handuk basah untuk membasuh tubuhnya dengan tangan gemetar juga jantung berdebar.

Oh berdosa lah kau, Kelly. Dosa yang indah. Pikiranku mengutuk selama aku membasuh tubuhnya.

Karena aku tidak memiliki baju ganti untuk dipakai Sean, maka aku membiarkan dadanya telanjang tanpa sehelai benangpun. Kemudian aku beralih ke bagian bawah tubuhnya dan kembali meneguk ludahku dengan lebih berat.

Not that one. Pikirku dengan pasti. Alhasil aku hanya melonggarkan ikat pinggangnya dan menutup seluruh tubuh Sean dengan selimut tebal milikku sebelum aku gelap mata dan menyerang Sean dalam tidurnya.

Tidak, aku tidak pernah melakukan itu. Tapi serigala mana yang akan bisa berpikiran waras kalau dihadapkan pada daging segar?

Tidak juga serigala betina sepertiku!

Kelly [#DMS 5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang