58. Next Month.

38.6K 3.9K 226
                                    

Kalau misalkan tinju dan amukan emosi keluargaku nantinya akan membuat Sean mati, satu yang harus aku ketahui.

Bukan keluargaku yang membunuhnya, tetapi aku.

Setelah mengabaikan telepon dari Sean seharian ini, aku meneleponnya lagi saat jam hampir menunjukan pegantian hari setelah Daddy memintaku untuk memanggil Sean dan menempati kursi terdakwa di persidangan dadakan keluarga besar kami.

Aku memang bodoh.

Kenapa aku tidak berpikir untuk kabur saja tanpa memberitahu kehamilanku?

Kalau seperti ini, tidak ada bedanya karena sepertinya aku terancam kehilangan ayah dari anakku.

Aku menggigil mengingat mimpiku malam itu.

Kak Alle dan kak Keira baru saja pulang karena mereka harus menjaga anak-anak mereka. -dimana aku semakin frustasi karena kehilangan dua orang pendukungku.

Kak Kenneth, Alexis, paman Alvero dan juga Daddy hanya diam menatapku yang berharap bisa mengecil atau bahkan menghilang saja dari sana. Sedangkan Mommy dan bibi Rere duduk di kedua sisiku, merangkul bahuku dan mengusapnya pelan. Nicholas yang baru kembali setelah mengantar kak Alle dan kak Keira memilih untuk duduk di sisi Mommy.

Keheningan itu berlangsung lama hingga satu suara bel mengintrupsi.

"Daddy yang buka." Daddy sudah mengambil ancang-ancang untuk membuka pintu, tapi Mommy dengan cepat menyela.

"Biarkan Kelly saja."

Karena pada dasarnya Daddy tidak bisa berkutik kalau Mommy sudah berbicara, maka Daddy kembali duduk dan aku yang berdiri untuk menghampiri pintu.

Tidak bisa ku tutupi kalau tanganku kini bergetar hebat saat membuka pintu besar itu. Pemikiran untuk kabur dari apartemen ini, bahkan negara ini mulai bergantian menyusup pikiranku.

Tapi kemudian aku teringat kalau Passportku berada di arah sebaliknya, yaitu di kamarku.

Aku menghela nafas pasrah dan membuka pintu itu kemudian wajah khawatir Sean yang hanya mengenakan kaus santai dan celana jeans juga sneakers dapat kulihat dengan jelas.

Tangannya langsung menangkup wajahku, "kau baik-baik saja? Wajahmu pucat. Kau mengabaikan teleponku seharian ini, dan kau tiba-tiba meneleponku untuk datang malam-malam. Apa terjadi sesuatu?" Borongan pertanyaan Sean tidak sempat kujawab karena tiba-tiba aku sudah berada dalam pelukannya. "Did i scare you? Maafkan aku."

Ini yang aku perlukan sekarang. Pelukan darinya dan juga mendengar debaran jantung yang selalu membuatku nyaman.

"Aku mengerti kalau permintaanku terlalu terburu-buru dan itu menakutimu. Aku tidak akan memaksa kalau kau belum siap, tapi setidaknya ikutlah denganku. Aku ingin memastikan kalian baik-baik saja."

Hatiku menghangat mendengar kata-katanya. Aku tidak memiliki keinginan lain selain ikut bersamanya sekarang. Bahkan aku tidak lagi peduli pada halangan bahasa yang akan aku hadapi di Korea.

Ehem

Suara dehaman itu membuatku melepas pelukan dari Sean dan menghadap ke belakang. Alexis berdiri sambil melipat kedua tangannya di depan dada dengan ekspresi datar. Sejak kapan aku tidak bisa membaca ekspresinya?

"Semua menunggu didalam." Suara datar Alexis terdengar dan ia kemudian berbalik meninggalkanku.

"Ada apa didalam?" Tanya Sean yang memang belum aku beritahu.

Aku berbalik menatap Sean, memuaskan diriku menatap wajah tampannya sebelum hal yang tidak kuinginkan terjadi.

"Berjanjilah kau tidak akan menghantuiku kalau kau meninggal nanti. Aku takut hantu." Pintaku memelas. "Keluargaku murka karena kehamilanku sekarang."

Kelly [#DMS 5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang