10. Rose Bouquet.

38.5K 3.8K 158
                                    

Aku menarik koperku dengan sangat tidak bersemangat setibanya aku di bandara Los Angeles.

Air dingin sama sekali tidak membantuku kemarin. Alhasil aku tidak bisa tidur semalaman dan aku mendapatkan flu yang cukup parah sekarang, dan mataku memaksa untuk terpejam.

What a bad timing!

Aku menyalahkan hati dan pikiranku untuk kondisiku sekarang. Dua 'hal' itu tidak membiarkanku beristirahat sama sekali semalaman.

Dari pintu kedatangan, aku bisa melihat Alexis yang berdiri menyamping, bersandar di salah satu dinding tidak jauh dari pintu keluar. Ia menyilangkan tangannya di depan dada, menonjolkan otot-otot ranumnya dibalik kemeja biru yang lengannya digulung hingga sebatas siku. Kacamata hitam bertengger pas di pangkal hidungnya yang mancung.

Oh, bahkan laki-laki jelmaan dewa yunani itu sama sekali tidak bisa membangunkan kupu-kupu di perutku meski getaran hangat dan debaran tak teratur masih kurasakan.

Aku benar-benar harus menangani keanehan ini secepatnya. Kalau perasaan dan hatiku bisa di copot pasang, aku ingin sekali mencopot itu semua ketika berhadapan dengan Sean yang masih berada di zona abu-abu.

Kenapa zona abu-abu? Karena aku masih belum bisa membaca jelas tujuan laki-laki itu mendekatiku selain berasumsi.

Aku menepuk pundak Alexis begitu aku sudah berada di dekatnya. Laki-laki itu masih belum menyadari keberadaanku, jadi aku terpaksa menyadarkannya. Kalau kondisiku masih sedikit lebih Fit, aku mungkin akan sedikit menjahilinya.

Tapi untuk sekarang, sebuah dada bidang, heater, dan musik klasik yang selalu diputar di mobil Alexis yang lebih kubutuhkan daripada kejar-kejaran ala film bollywood dengan Alexis.

Alexis menegakkan tubuhnya, dan menoleh menatapku. Aku bisa membayangkan mata cokelat hangat itu menatapku dari balik kacamata hitamnya dan sekarang mata cokelat itu sedang menyipit menatapku.

Tangan Alexis serta merta membingkai wajahku kemudian bertanya dengan nada khawatir. "Kau pucat. Badanmu juga hangat. Kau sakit? Bagaimana bisa? Sejak kapan? Kenapa tidak mengabariku?"

"Grandpa. Apa aku harus menjawabnya? Aku ingin tidur." Aku memajukan bibirku. Aku sendiri juga tidak mengerti dari mana datangnya suara manja barusan.

Alexis berdecak dan ia melepas kacamatanya dengan gerakan cepat. Barulah aku bisa melihat seberapa khawatir Alexis dari sorot matanya.

Aku memaksakan diri untuk tertawa. "Aku hanya sedikit flu, grandpa." Candaku.

"Tidak lucu, Kelly." Ketusnya. "Kenapa kemarin kau tidak memberitahuku kalau kau sakit saat aku meneleponmu untuk menanyakan jadwal pulangmu?" Desaknya.

"Kalau aku beritahu, lalu kau mau apa? Aku mengenalmu, Lexy. Aku yakin kau akan langsung mengendarai mobilmu ke Las Vegas. For God sake, kemarin sudah hampir tengah malam." Aku terkekeh dan menggeleng. "Lagipula aku belum flu saat kau telepon kemarin." Tambahku. Aku flu setelah kau meneleponku, dan aku berendam air dingin hampir 1 jam lamanya. Tambahku dalam hati.

Tidak terlihat mau berdebat lagi denganku, Alexis memasukkan kacamata hitamnya kedalam saku, lalu ia berjalan melewati tubuhku. Aku sempat mengira ia marah. Tapi saat ia kembali membawa sebuah Trolley khusus bandara, mengambil alih koperku dan di letakkan di atas sana, lalu menggendongku untuk ikut duduk di atasnya, aku sadar kalau Alexis bukan marah, melainkan murka.

Tidak bisa ku katakan seberapa malu aku duduk di atas Trolley ini, tapi melihat wajah datar juga di tatapi tajam Alexis, aku tidak berani memprotes.

"Kalau kau tidak mau ku gendong seperti karung beras, duduk diam saja disitu." Ancamnya lalu mendorong Trolley menuju ke parkiran diikuti oleh tatapan penuh tanya orang-orang yang kami lewati.

Kelly [#DMS 5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang