22. Another Roses.

36.6K 3.8K 98
                                    

Kupikir ruangan kerjaku ini akan mendatangkan banyak ide untukku. Memang seharusnya begitu. Ada banyak ide yang mengalir ke kepalaku, tetapi aku tidak bisa memfokuskan diri untuk menuangkan salah satunya ke dalam coretan sketsaku.

Bagaimana bisa kalau tatapan Sean terus menerus diarahkan kepadaku seintens itu? Sejak kembali dari menerima telepon yang entah dari siapa, Sean duduk di kursi kebesarannya, dan memperhatikanku hingga detik ini.

Aku bahkan ragu untuk mengangkat kepalaku dan membalas tatapannya. Wajahku memanas dan aku berani bertaruh kalau wajahku pasti seperti kepiting rebus sekarang.

Lalu darimana aku tahu kalau Sean menatapku? Percayalah. Kalau ditatap terus menerus dan seintens itu, kalian pasti akan merasakan getaran-getaran itu. Seperti itulah yang sedang kurasakan. Hanya bedanya, aku sedang susah payah sekuat tenaga mengendalikan diriku untuk tidak mengangkat kepalaku dan membalas tatapannya, atau menangkap basahnya.

Sepertinya aku mulai merindukan bekerja di butik bibi Rere dan teman sebelah kubikelku yang bawel itu.

"Sudah jam makan siang, kau tidak lapar?" Suara Sean tiba-tiba mengejutkanku.

Aku terlonjak sedikit dan menepuk dadaku yang sudah hampir meledak.

"Kau... kau mengejutkanku!" Omelku dengan nafas tersengal.

Sean mendekatiku dan menatapku dengan wajah khawatirnya. "Maaf. Aku tidak bermaksud mengejutkanmu." Sesalnya. "Kau terlihat serius sekali dengan pekerjaanmu. Tapi kau juga harus makan, Kelly."

Setelah berhasil mengontrol deru nafasku, aku mencoba bersikap biasa. Aku berdeham, "Aku belum lapar." Jawabku berbohong.

Tentu saja aku lapar. Aku melewatkan sarapanku tadi karena Sean muncul tiba-tiba di lobby apartemenku.

Aku mungkin akan memesan makanan kalau Sean pergi nanti.

Bukannya pergi, Sean malah duduk di kursi yang berada di hadapanku dan menopang dagunya lalu menatapku lurus.

"Kau sendiri tidak makan?" Tanyaku. Aku berharap suaraku tidak terdengar mengusir.

"Kau juga tidak makan?"

Aku berdecak, "itu bukan jawaban, Mr.Kim. itu pertanyaan." Desisku.

Sean terkekeh, "aku lebih suka kau memanggilku Sean." Ujarnya, wajahku merona dan langsung menunduk menghindari tatapan matanya.

"Profesionalitas, Mr.Kim." jawabku berusaha acuh.

"Hmm... aku mengerti. Jadi tidak salah kalau aku mengajak rekan kerjaku makan bersama, kan? Aku akan menunggumu. Jadi selesaikan dulu pekerjaanmu. Tidak perlu buru-buru. Take your time."

Aku mengumpat dalam hati. Bagaimana bisa aku menyelesaikan pekerjaanku kalau Sean menatapku se Intens itu? malah sekarang lebih dekat! Ini sangat menyebalkan.

Aku akhirnya mengalah dan menutup buku sketsaku dan menatap Sean.

Sean menatapku, sebelah alisnya terangkat. "Sudah selesai? Tidak apa. Kau selesaikan saja dulu. Tidak perlu terburu-buru."

"Aku sudah selesai." Bohongku lagi. Jangankan selesai. 1 sketsapun tidak bisa ku tuangkan karena tatapannya itu dari tadi.

Sean tersenyum lebar dan berdiri di tempatnya. "Apa kau tidak keberatan kalau aku mengajakmu mencoba restoran shabu-shabu yang baru buka di sekitar sini? Kudengar makanan disana lumayan lezat."

Apa aku memiliki pilihan untuk menolak? Kalaupun ada, sepertinya aku tidak berniat mengambil opsi itu. Menolak ataupun tidak, aku akan tetap makan bersama Sean. Dan juga, sudah lama aku ingin mencoba restoran shabu-shabu yang baru buka di dekat sini.

Kelly [#DMS 5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang