49. What Happen to Me?

36.9K 3.8K 303
                                    

Sebulan berlalu dengan sangat cepat bagiku yang diburui oleh deadline pekerjaan. 80% waktuku habis di kantor Sean untuk mengejar batas waktu yang aku tentukan sendiri karena masih akan ada banyak revisi meskipun gaun-gaun itu selesai di kerjakan.

Mengepas ukuran dengan tubuh model. Merapikan jahitan yang tidak sempurna. Dan juga aku membuat beberapa gaun cadangan untuk mencegah hal yang tidak diinginkan terjadi.

Sedangkan 20%nya lagi, waktuku habis bersama Sean di Mansionnya.

Ya, aku -atau lebih tepatnya Sean, memintaku tinggal bersamanya di Mansion agar ia bisa mengecek keadaanku setiap saat dan memastikan kebutuhan gizi juga istirahatku terpenuhi dengan baik.

Menurutku itu akal-akalannya saja, karena memastikan itupun bisa dilakukan di Apartemenku.

Yang jelas, aku merasa seperti benar-benar menikah dengan Sean saat ini, dan kami tinggal bersama di Mansionnya.

Mommy dan Daddy akan membunuhku kalau sampai mereka tahu perbuatanku ini. Aku jadi membandingkan diriku dengan kak Keira dulu.

Apa aku melakukan hal yang sedikit baik dibandingkan kak Keira? Atau malah sama? Entah lah.

***

Minggu depan adalah hari dimana acara tahunan bergengsi itu akan dimulai.

Aku mulai merasa panik karena gaun yang seharusnya dikenakan oleh model-model Majalah People, belum juga rampung seutuhnya.

Masih ada beberapa revisi ukuran juga model gaun yang kurang cocok dengan pribadi si Model.

Akibatnya, aku jadi mudah marah meski terhadap hal kecil yang sebenarnya tidak perlu di permasalahkan.

Dan di sinilah aku, di ruang kerja kacaku, mengamati manekin yang mengenakan gaun yang harus ku revisi, menggigit jarum dan mengalungi meteran baju sambil tanganku memainkan kain bahan untuk menemukan 'lokasi' yang pas di gaun tersebut.

"Istirahat sebentar, Love. Temani aku makan siang." Aku terkejut ketika lengan Sean melingkar di pinggangku. Lidahku nyaris saja tertusuk jarum akibat aksi tiba-tiba Sean barusan.

Aku mengambil jarum dari gigitanku dan menatap Sean tajam, siap memakinya. "Barusan itu bahaya, Sean! Aku bisa saja menelan jarum ini karena kau mengejutkanku!"

Seperti biasanya, Sean tersenyum menanggapi kemarahanku. Ia seakan tahu kalau kemanisannya itu ampuh untuk meluluhkan hatiku selama ini. "Temani aku..." pintanya sambil menyentuh kedua pipiku.

Aku menghela nafas dan memilih untuk mengontrol emosiku yang tiba-tiba naik itu. Aku kira berhadapan dengan Sean adalah sebuah pengecualian, tapi nyatanya tidak.

Kadar kemanisan yang Sean miliki hanya berlaku kalau aku sedang tidak dalam kondisi stress.

"Kau pergi saja sendiri. Aku masih banyak pekerjaan." Ucapku sedikit menyesal. "Maaf."

"Tapi kau juga harus makan, Kelly." Sean menatapku lurus. Ibu jarinya mengusap pipiku, mengirimkan gelenyar hangat dan semangat ke diriku.

"Aku akan makan nanti. Aku hanya mau menyelesaikan ini sebentar lagi." Sanggahku.

"Kalau begitu, aku akan menunggumu. Baru setelah itu, kita makan bersama." Putusnya yang entah kenapa, aku tidak suka mendengarnya.

"Pergi saja, Sean. Aku bisa makan sendiri nanti." Aku menepis kedua tangannya dan kembali menatap patung manekin yang tadi ku abaikan.

"Aku belum lapar, aku masih bisa menung-"

"Pergi, Sean! Kau tidak perlu menungguku." Aku terkejut mendengar suaraku yang meninggi tanpa bisa ku kontrol.

Kelly [#DMS 5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang