II

4.3K 184 0
                                    

"Oi, Gun !" sebuah tepukan keras di pundak, membangunkanku dari tidur. Kutatap wajah Jani, teman sebangkuku. "Tiduran lagi." Ia melepaskan ranselnya dan mendudukkannya di bangku.

Aku mengangkat wajah dan menegakkan badan dengan malas. Aku menguap lebar. "Tidur jam berapa semalam?" tanya Jani lagi, memusatkan perhatiannya padaku.

Aku mengangkat empat jari ke arahnya, mengisyaratkan kalau aku tidur jam empat pagi. "Terus pas pulas, Bokap bangunin gue karena ada temannya yang mau datang ke rumah. Gua tadi sampai sini jam 6 kurang."

Raut Jani berubah sedih, lalu mengarahkan telapak tangannya ke pundakku. Mengusap-usapnya pelan. "Duh, cerita lu bikin gue sedih deh, Gun. Lu enggak mau coba ngomongin lagi soal keadaan lu sama Bokap? Bentar lagi kenaikan kelas, dan lu harus mulai fokus untuk ujian kelulusan. . . lu enggak bisa terus-terusan kerja rodi begini." Suaranya terdengar khawatir.

Aku menggelengkan kepala, "Enggak akan menghasilkan apa-apa, Jan." aku menolak sarannya. Terakhir kali aku mengatakan apa yang kurasakan dan harapan yang kuinginkan pada Ayah, ia justru mengatakan itu bukanlah urusannya. Ayah mengatakan seharusnya aku sudah mulai bisa mengurus urusanku sendiri dan tidak membebankan urusan itu pada orang lain. Sejujurnya dalam perkataannya itu, aku tak mengerti kenapa Ayah menyamakan dirinya dengan orang lain, yang merujuk pada arti 'orang asing' bagiku. Namun, aku tak mau memperpanjang perdebatan dan memilih menjalaninya sendiri. 

Jani terlihat menghela nafas, "Tapi, gue khawatir kalau lu terus-terusan sibuk begini."

Aku mengendikkan bahu, "Mau bagaimana lagi. Emang ini yang harus gue jalani. Makanya, lu doain aja gue kuat dan sehat sampai lulus nanti."

Jani tak merespon. Rautnya masih sama, sedih. Sebagai teman, nampaknya ia berpikir belum bisa memberikan peran yang berguna untukku, meskipun sebenarnya aku juga tak mengharapkan apapun darinya. Bagiku, ia mau menjadi teman baikku saja, aku sudah sangat bersyukur.

Di kelas sebelas ini, aku tak begitu memiliki banyak teman dekat, kecuali Jani, karena kesibukanku yang membuatku tersisihkan dari aktifitas keseruan mereka. Dulu, beberapa kali teman-teman sekelas sering mengajakku pergi bareng-bareng sehabis sekolah, namun aku tak bisa bergabung semenjak harus bekerja sebagai pegawai restoran. Sejak itulah, mereka tak lagi mengajakku dan menjaga jarak denganku.

Berbeda dengan Jani, yang memang tahu kondisi keluargaku yang hancur berantakan. Sebisa dan sesering mungkin, dia menanyai keadaanku secara langsung di sekolah ataupun menghubungiku melalui pesan whatsapp. Ia tak marah atau tersinggung di kala aku baru bisa membalas pesannya setelah selesai bekerja.

"Bawa bekal, enggak?" tanya Jani lagi, mengalihkan pembicaraan.

Aku menggelengkan kepala, "Enggak sempat bikin."

"Jadi, nanti pas istirahat, lu bakal jajan ke kantin?" tanyanya. Jani tahu aku adalah orang yang sangat pelit dalam mengeluarkan uang, apalagi hanya untuk jajan.

"Enggak tahu, deh. Kalau enggak terlalu lapar, ya enggak jajan. Lumayan duitnya dikumpulin buat keperluan lain." kataku, yang merasa makan atau tidak makan, bukanlah perkara yang besar untukku.

Jani mendesis, "Jangan begitulah. Mentang-mentang enggak lapar, terus pola makan lu jadi enggak teratur. Lu tuh udah banyak ngeluarin tenaga yang besar, kalau enggak diimbangi dengan makan sehat dan teratur, nanti sakit." Katanya.

"Sesekali enggak makan atau jajan, enggak bakal langsung bikin gue sakit, kok Jan." kataku dengan santai, berusaha menenangkannya. Jani mendecak sebal dengan sanggahan yang kuberikan.

Tak lama bel tanda masuk kelas dibunyikan. Teman-teman yang baru datang atau yang sejak tadi asyik mengobrol di tempat lain, buru-buru mengambil topi serta memeriksa kelengkapan seragamnya. Begitupun denganku dan Jani. Beberapa saat kemudian, setelah siap, kami bersama-sama keluar menuju lapangan untuk menjalani sesi upacara. 


Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang