DUG DUG DUG !
Sebuah pukulan keras penuh amarah menghantam pintu kamarku dari luar. Membuatku terperanjat dari tidur lelap yang kurasakan baru terjadi 1 jam yang lalu. Rasa pusing seketika memenuhi tiap ruang dalam kepalaku, bahkan bisa kurasakan denyutan keras dari sisi kiri dan kanan keningku.
"Anggun, cepat bangun !" teriakan Ayah menembus masuk ke dalam kamar, "dua jam lagi kamu harus pergi, ada teman-temanku yang mau datang." Ayahku kembali menggedor pintu dengan kasar, hingga aku melihat kayu persegi panjang berbahan dasar jati yang dicat berwarna putih itu bergetar hebat seperti akan lepas dari engselnya.
Aku bangkit dari posisi berbaring, dengan dua tangan meremas sisi-sisi kepala yang terasa nyeri dari dalam, "Iya, Yah ! Aku udah bangun !" seruku. Aku menyempatkan diri melirik pada jam weker kecil berbentuk beruang cokelat diatas meja disisi kanan tempat tidur. Pukul 5 pagi.
"Cepat mandi dan pergi !" kata Ayahku lagi. Dari sela-sela bawah pintu, aku melihat langkahnya bergerak menjauhi kamar. Aku menghela nafas lega setelah keributan yang mengagetkan itu telah berakhir.
Namaku Anggun Ramania Almeta, biasa dipanggil Anggun. Dua bulan lagi, usiaku 16 tahun. Aku adalah seorang anak perempuan tunggal dari Ayah dan Ibuku yang telah bercerai 8 bulan lalu. Fisikku tak terlalu menawan, hanya seorang perempuan remaja dengan rambut hitam sebahu yang sering kukuncir kuda, kulit putih pucat dengan lingkar hitam dibawah mata sebagai penghias yang bagi siapapun yang melihatnya akan menimbulkan kesan tak menyenangkan.
Kujejakkan dua kaki yang masih enggan digerakkan ke atas lantai kamar yang dingin. Tangan kiriku meraih sebuah ikatan rambut hitam kumal yang semalam kuletakkan diatas meja kecil di sisi kanan tempat tidur. Kuikat kuat rambutku yang berminyak sebelum beralih keluar kamar menuju kamar mandi. Sebuah handuk pink telah setengahnya melingkar di leherku.
Aku berpapasan dengan Ayah yang nampaknya akan masuk ke dalam kamarnya. Ia menatapku sekilas dengan tatapan tak suka sebelum bergegas masuk ke dalam. Aku melanjutkan langkahku menuju kamar mandi dan tidak memusingkan sikap Ayahku.
Ia bersikap seperti itu sejak aku memilih tinggal bersamanya pasca bercerai dengan ibu. Aku tak tahu letak kesalahan dari keputusanku itu, selain Ayah yang terus-terusan mengatakan keberatan menerimaku.
Sebelum tinggal di rumah susun milik Ayah, aku sempat tinggal bersama dengan ibu selama dua bulan dan menjadi hari-hari terburuk yang pernah kualami. Semenjak aku tahu Ibu minta bercerai karena memilih lelaki lain, sikap ibu terhadapku berubah. Rautnya tak pernah senang kala melihatku berada di rumah. Sekeras mungkin berusaha menghindari percakapan atau bertatap muka. Hingga puncaknya, Ibu mengatakan akan segera menikah lagi dengan lelaki barunya, dan tidak mau membawaku ke dalam kehidupannya yang baru demi menghindari konflik dengan calon suaminya.
Dengan bekal alamat yang diberikan oleh ibuku, aku mendatangi rumah susun Ayah pada pukul 9 malam dengan diantar taksi. Melihatku datang tanpa mengabari, membuat Ayah tak terlalu senang namun tetap membiarkanku masuk dan mengijinkanku tinggal bersamanya.
Awal kehidupanku bersamanya tidak berjalan lebih baik. Ayahku lebih sering menghabiskan waktu di luar, dengan alasan bekerja atau bertemu dengan teman-temannya dan baru kembali ke rumah dini hari pagi. Tak jarang Ayah pulang dengan bau alkohol menyeruak dari tubuh dan mulutnya, dibarengi perkataan-perkataan melantur yang tak kumengerti.
Aku tak merasakan kasih sayang yang sama dari Ayah dan Ibuku seperti saat sebelum bercerai. Kini yang kurasakan hanyalah ketidaksukaan yang selalu terpancar dari wajah Ayah, seolah ia membenci kehadiranku. Hatiku kosong, dan seringkali dihinggapi rasa bersalah karena datang pada mereka berdua.
Namun, untuk saat ini tidak ada yang bisa kulakukan selain bersikeras tinggal bersama Ayah karena aku masih dibawah umur dan harus menyelesaikan sekolah. Sayangnya, Ayahku saat ini bukan lagi orang yang royal—yang akan dengan mudah memberikan uang padaku apapun alasannya, hingga aku harus memutar otak untuk mendapatkan uang guna keperluan sehari-hari dan biaya sekolah.
Kini selain aktifitas sekolah, aku juga mengambil kerja sambilan sebagai pelayan restoran dan bekerja mulai dari jam 5 sore hingga 12 malam. Setiap Senin hingga Jum'at. Sedangkan untuk Sabtu dan Minggu, aku bertugas menjaga salah satu mini market milik Pak Djanuardi dari jam 7 pagi hingga 5 sore, yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah susun. Upah yang kudapatkan dari kedua profesi itu cukup membiayai kehidupanku dan sedikit jajan selama satu bulan.
Kedua kakiku mengantarku hingga ke depan pintu kamar mandi. Kutarik pegangan pintunya kemudian masuk ke dalam kemudian menutupnya kembali. Aku menghela nafas panjang sebelum membuka pakaian. Hari Senin di bulan Agustus ini akan sama seperti hari-hari sebelumnya, dan aku harus menyiapkan diri menjalaninya. Kehidupanku yang masih sulit serta rumit.
![](https://img.wattpad.com/cover/122249714-288-k947570.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...