Hendra yang telah sampai di kafe—tempat perjanjiannya dengan Gendhis, menghampiri mantannya yang langsung memberikan lambaian tangan berserta senyuman saat melihat dirinya masuk. Dengan raut tak suka, ia duduk di hadapan Gendhis dan menampilkan sikap tubuh malas.
"Lama banget, sih Hen? Udah naik motor tetap aja kena macet?" tanya Gendhis.
"Ngantri isi bensin dulu. Kamu ngapain sih minta ketemu aku lagi?" tanya Hendra dengan ketus.
"Kan aku udah bilang ada yang mau aku omongin dan ini butuh konfirmasi langsung dari kamu."
"Ya udah omongin sekarang."
"Kamu enggak mau pesan minum dulu? Kayaknya dari tampang kelihatan haus banget." Tawar Gendhis yang masih menunjukkan sikap manisnya. "Mas?" ia memanggil salah satu pelayan laki-laki yang kebetulan sedang mengelap meja kosong di sampingnya.
"Ya, Mbak... ada yang bisa dibantu?" tanya pelayan yang memberikan senyum hingga lesung pipitnya terlihat.
"Teman saya mau pesan." Ujarnya sambil mengarahkan tangannya pada Hendra yang bertampang masam.
"Ya, Mas. Mau pesan apa?" pelayan itu beralih dengan dua tangan siap menulis pesanan.
"Air putih dingin aja, satu." Jawab Hendra dengan cuek.
"Itu aja?" tanya sang pelayan seolah tak percaya, masih ada orang yang hanya pesan air putih diantara pilihan minum menarik yang ditawarkan.
"Itu aja dulu. Nanti, kalau ada yang lain saya panggil lagi." Jawab Hendra tak peduli dengan tatapan heran dua orang disekitarnya. Dikatakan seperti itu membuat sang pelayan akhirnya pergi untuk menyerahkan pesanan sederhana tersebut.
"Kok cuma pesan air putih? Di sini, kan juga ada Americano. Biasanya kamu langsung pesan itu."
"Lagi enggak pengen. Udah langsung aja ke topiknya, kamu mau ngomongin apa?" jawab Hendra yang tak ingin berlama-lama berbasa basi. Alasannya hanya memesan air putih pun berhubungan dengan rasa enggan bicara dengan Gendhis. Jika pembicaraan telah usai, dia akan mudah menghabiskannya dan pergi, dibanding minum kopi yang harganya mahal namun ada kemungkinan dia tidak bisa menghabiskannya. Hendra memang orang yang cukup perhitungan dengan apa yang dibelinya.
Gendhis menghela nafas panjang karena mengetahui sifat ketus Hendra tak kunjung mereda meski ia berusaha bersikap manis dan ramah. Ia membetulkan posisi duduknya dan menatap mantan kekasihnya itu dengan serius. "Tadi, pagi aku... lihat kamu boncengin perempuan. Anak SMA."
Hendra berusaha keras menyembunyikan rasa kagetnya mendengar perkataan Gendhis. Hatinya berdebar tak senang. Merasa kesal karena mengetahui telah ada yang menguntitnya. Meski begitu, rautnya tetap tak menunjukkan reaksi apapun selain diam.
"Kamu jangan bilang kalau penglihatanku salah... karena aku yakin lihat kalian berdua keluar dari gang komplek rumah."
"Kamu jadi penguntit sekarang? Kerjaan kamu udah enggak bisa bikin kamu sibuk lagi, ya jadi suka ngawasin kegiatan orang."
Gendhis menggelengkan kepala, "Kebetulan aja tadi pagi aku mau ke rumah kamu tapi malah lihat kamu boncengin seseorang."
"Ngapain kamu pagi-pagi mau ke rumah aku?" selidik Hendra. Obrolan mereka terjeda sebentar saat pelayan yang sama meletakkan sebotol air mineral dingin dan sebuah gelas di meja—dihadapan Hendra.
"Pengen sekadar say hai aja. Aku kangen sama kamu, tapi tiap kali mau ketemu selalu kamu usir aku kayak kucing." Keluhnya dengan wajah cemberut.
"Bisa enggak rasa kangen kamu itu diurus dengan cara lain selain harus ketemu aku? Aku enggak mau ketemu itu karena aku emang enggak mau berurusan sama kamu lagi. Permasalahan rasa kangen, itu bukan urusan aku lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...