Pukul 4 pagi, aku sudah terjaga dari tidur. Aku berpikir harus sudah pergi sebelum Pak Kepsek datang. Akan jadi masalah baru jika aku sampai terpergok menunggui Pak Hendra di rumah sakit.
"Ken... Kenji." Aku menggoyangan tubuhnya pelan.
"Hmm..." ia menggerung.
"Kenji." Sekali lagi aku memanggil namanya.
Akhirnya ia membuka mata dan melirik padaku, "Gue mau balik."
Kenji tak menjawab dan justru merenggangkan tubuhnya sambil menguap lebar. Tak lama, ia bangkit dan memandangku sambil mengucak mata kanannya. "Mau pulang?"
"Iya. Kalau terlalu siang, nanti bisa terlambat ke sekolah dan ketemu sama Pak Kepsek di sini."
"Ya udah, hati-hati."
"Oke. Udah tidur lagi, deh lu tapi jangan nyenyak-nyenyak."
"Iya." Kenji kembali membaringkan tubuhnya dan terlelap. Dengan hati-hati. kukembalikan jaketnya dan merentangkannya ke atas tubuh Kenji seperti selimut.
Sebelum pergi, aku masuk ke dalam ruang perawatan dan untuk terakhi kali aku memandangi Pak Hendra yang masih tidur. "Saya pulang dulu, ya Pak." Aku berbisik supaya tak membangunkannya.
"Iya, hati-hati selama di jalan."
Aku terkesiap melihat guruku itu malah menjawab ucapan perpisahanku. Pak Hendra membuka mata dan memandangiku. "Kirain Bapak masih tidur."
"Ya, beberapa saat lalu masih tidur. Saya bangun karena dengar suara pintu dibuka."
"Oh, maaf Pak."
"Enggak apa-apa. Udah sana pulang. Semakin lama kamu di sini, malah bakal bikin kamu telat ke sekolah."
Aku mengangguk, "Oke. Saya ke sini lagi kalau bukan Pak Kepsek yang jaga. Jangan kangen, ya Pak." Ujarku sedikit bercanda.
"Justru harusnya saya yang bilang begitu, jangan kangen selama saya enggak ada di sekitar kamu."
Aku tertawa kecil, "Bye, Pak." Kemudian keluar dari ruangan.
Sekali lagi aku melewati bangku yang ditiduri oleh Kenji. Iba rasanya melihat temanku yang tidur dengan cara seperti itu. Sambil melangkah memasuki lift, aku pikir akan bagus kalau lain kali aku bawakan selimut dan kasur gulung. Omong-omong akan berapa lama lagi, Pak Hendra di rawat di rumah sakit? Sebulan? Dua bulan? Belum lagi urusan dengan kepolisian. Wah, hanya dengan membayangkannya saja cukup membuatku tahu kalau saat itu akan menjadi hari-hari sibuk untuk Pak Hendra.
Saat akan keluar melewati pintu kaca yang bergeser secara otomatis, aku dikejutkan dengan kehadiran Meta yang hendak masuk ke dalam.
"Anggun." Sapanya dengan reaksi yang tak kalah terkejutnya denganku.
"Apa yang Tante lakukan di sini?" tanyaku.
"Mau... ke apotek untuk beli obat." Jawabnya dengan meragu.
"Siapa yang sakit?"
"Itu..." dia terlihat berpikir untuk sekadar menjawab pertanyaan sederhanaku.
"Om Adli?" tanyaku.
Ia mengangguk sekali, "Dia dirawat sejak kemarin."
Sekali lagi aku terkejut karena mendengar jawabannya. Meski ingin bersikap biasa namun hatiku tidak bisa bekerjasama dengan keinginanku. Perasaan khawatir menyeruak ditambah detak jantung yang tiba-tiba berderap cepat, "Oh gitu, sakit apa?"
"Kemarin dia tiba-tiba enggak bisa jalan, kemudian didiagnosa dokter terkena gejala stroke. Hari ini mau diperiksa lebih intensif."
"Oh, baiklah...semoga Om Adli lekas sehat dan enggak ada penyakit lebih parah setelah ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
Fiksi Umum12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...