VIII

2.3K 113 1
                                    


Kini aku sedang bersama dengan Pak Hendra berdiri di depan pintu rusun. Aku berusaha mengambil sebuah kunci cadangan yang Ayah letakkan di sela ventilasi pintu. Aku mengetahuinya setelah beberapa menit dalam perjalanan pulang, Ayah mengirimi sms kalau dia sudah pergi lagi dan meletakkan kunci disana.

Begitu pintu terbuka, aku syok melihat betapa berantakannya keadaan di dalam rumah. Gelas-gelas kotor berdiri tegak di atas meja dekat sofa. Bungkus makanan berserakan. Sofa bergeser dari tempatnya, dan lantai yang terasa lengket. Pintu kamar Ayah juga dibiarkan terbuka. Padahal biasanya, dia tidak suka kalau ada yang melihat bagian dalam kamarnya.

Setelah beberapa saat terkesima dengan keadaan di dalam rumah, aku baru sadar kalau tidak sedang sendirian dan aku merasa malu karena ada orang luar yang melihat betapa berantakannya kondisi rumah. Buru-buru aku berbalik menatap Pak Hendra dan menemukan raut wajahnya yang juga syok.

"Pak, maaf kondisi rumahnya berantakan." Kataku merasa tak nyaman.

Pak Hendra menggelengkan kepalanya dan masih memandang ke sekeliling rumah. "Sebenarnya, apa aja yang udah Ayahmu lakukan semalam sama tamunya?" tanyanya. Aku merasa sangat malu karena pertanyaannya. "Kamu yakin mau istirahat di rumah yang berantakan kayak gini?" ia baru menatapku, "bisa-bisa malah kamu beres-beres rumah seharian."

"Iya, enggak apa-apa, Pak. Saya istirahat disini aja. Paling saya beresin yang semampunya aja. Kalau capek ya saya langsung istirahat ke kamar. Mungkin disana paling aman kondisinya dibanding disini." Kataku, "Sebentar ya, Pak saya ambil surat keterangan dari dokter dulu."

Pak Hendra mengangguk.

"Hmm, mungkin Pak Hendra mau duduk. . ." aku merasa ragu dengan tawaranku sendiri karena letak sofa yang tidak simetris, "bisa di—"

Pak Hendra mengangkat salah satu telapak tangannya, "Enggak usah, enggak apa-apa. Kamu ambil aja surat keterangannya." Katanya sambil tersenyum. Nampaknya, dia tahu kebingungan yang dirasakan olehku.

Aku mengangguk dan buru-buru menuju kamar. Sesampainya di dalam, aku diberi kejutan dengan pemandangan tempat tidur yang berantakan. Terakhir kali kuingat, sprei kulipat dengan rapi tapi kini sudah berada dibawah tempat tidur. Bantal dan guling sudah tak jelas dengan posisinya. Lalu, ada cekungan di bagian tengah kasur seperti ada orang yang habis melompat-lompat diatasnya.

Kali ini aku merasa sangat marah. Marah karena ada orang lain yang berani memasuki area pribadiku. Satu-satunya area tempat istirahatku. Aku dengan sangat yakin menuduh perempuan semalam sudah masuk ke dalam bersama dengan Ayah. Rasanya aku ingin teriak saat itu juga karena kemarahan dan kebencian yang mendalam karena Ayah berani mengijinkan orang lain masuk ke dalam kamarku.

Aku berusaha menahan diri dari emosi yang sudah melesak naik ke kepala karena ingat ada hal lain yang harus segera kulakukan. Kurogoh surat dokter dari salah satu celah di dalam dompet. Kemudian sebelum keluar, aku menutup mata dan menarik nafas panjang hingga akhirnya melepasnya perlahan untuk menenangkan diri supaya Pak Hendra juga tak melihat raut kecewa dari wajahku.

Begitu telah di luar kamar, aku melihat Pak Hendra belum beranjak dari dekat pintu. Nampaknya, diam-diam dia juga risih untuk melangkahkan kaki lebih jauh ke dalam area ruangan. "Ini, Pak suratnya. Mudah-mudahan besok saya udah bisa kembali ke sekolah." Kataku sambil menyerahkan selembar kertas putih berisi tulisan dan paraf dokter Wina.

Pak Hendra menerima surat itu, kemudian memasukkannya ke dalam salah satu kantung dompetnya. "Iya, semoga lekas sehat. Istirahat—," ia terdengar ragu-ragu meneruskan perkataannya. Pandangannya berpendar kembali ke ruangan tamu yang berantakan, "yang benar dan makan yang teratur."

Aku mengangguk sebagai jawaban. Lalu, Pak Hendra pamit untuk pergi, "Hati-hati di jalan, Pak... terima kasih udah mengijinkan saya menginap dan juga mengantar saya sampai ke rumah." Kataku.

Ia meletakkan telapak tangannya di puncak kepalaku dan mengusap-usapkannya pelan. Bibirnya tersungging senyuman yang menyiratkan rasa keprihatinan, "Enggak apa-apa. Kalau ada apa-apa, buru-buru hubungi Bapak, ya. Kamu simpan, kan? Waktu itu Bapak pernah umumkan di depan kelas."

Aku mengangguk, "Ya." Lalu, Pak Hendra melangkah menjauhi teras lantai 4. Aku bisa mendengar langkah kakinya menuruni anak tangga.

Aku kembali masuk ke dalam rumah. Berkacak pinggang ketika kembali memerhatikan kacaunya kondisi rumah, lalu menghela nafas panjang karena bingung harus membersihkan darimana.

Aku mulai dengan memunguti bungkusan-bungkusan makanan dan membuangnya ke sebuah plastik hitam besar. Membetulkan posisi sofa-sofa, lalu mengangkat gelas-gelas kotor ke westafel di dapur. Ketika masuk ke area dapur aku melihat sudah ada dua mangkuk kotor didalam westafel. Dua bungkus indomie dan dua kulit telur dibiarkan diatas westafel. Aku tak bisa lagi menahan emosi saat mengetahui kalau Ayah bersama wanita itu menikmati hasil belanjaku semalam, yang bahkan belum sempat kubuat karena diusir dari rumah.

Aku membersihkan dengan emosi yang meledak-ledak. Aku melempar bungkusan indomie dan kulit telur dengan kasar ke dalam tempat sampah. Dengan sengaja, aku memecahkan dua mangkuk dan gelas tersebut dengan melepaskannya dari atas menuju ubin, karena tidak mau kalau aku sampai memakai benda bekas pakai perempuan itu. Pecahan-pecahan kecil menyebar dan menyentuh kakiku yang tanpa alas. Aku merasakan sedikit rasa perih dan melihat ada beberapa titik kecil berwarna merah keluar dari kulit punggung kaki.

Aku keluar dari dapur untuk mengambil sandal yang cukup bersih dan kugunakan selagi membersihkan pecahan beling di dapur. Aku menyapu lantai dengan teliti dan memasukkannya ke dalam pengki lalu kupindahkan ke dalam tempat sampah.

Setelah selesai menyapu, aku beralih mengambil mesin vakum cleaner yang diletakkan disudut dekat lemari es. Kunyalakan dan kuarahkan ke bawah untuk menyisir debu serta pecahan kaca yang lolos dari sapuan. Setelah dapur selesai, aku beralih menuju ruang tamu. Ketika ruangan itu juga telah bersih, aku beralih ke dalam kamar dan melakukan hal yang sama yaitu membersihkan dan merapikan. Menyapu lantainya dan membersihkannya sekali lagi dengan vakum cleaner.

Kedua mataku melirik ke dalam kamar Ayah yang pintunya masih terbuka. Ada baju bekas pakainya kemarin tergeletak di atas lantai kamar. Selimut diatas kasurnya tak lagi terlipat rapi, kusut dan seolah terkulai lemas setelah dikenakan semalam. Aku melangkah maju mendekati kamar Ayah, lalu menutup pintunya dengan cara dibanting. Aku tidak akan sudi memasuki apalagi membersihkan kamarnya, yang kemungkinan semalam digunakan perempuan itu untuk tidur.

Kulanjutkan aktifitas bersih-bersihku dengan mengepel lantai seluruh ruangan sebersih dan sekesat mungkin. Setelah kering, aku kembali menggunakan vakum cleaner. Supaya aku yakin tak ada pecahan kaca yang berhasil lolos dari sedotan vakum cleaner. Kini rumah sudah sangat rapi, bersih dan wangi.

Aku terkulai lemas diatas sofa karena kelelahan. Rasa hangat kembali menjalari tubuhku. Rambutku lepek karena keringat yang bercucuran. Aku ingat belum mandi dan hanya cuci muka di rumah Pak Hendra. Aku berniat membersihkan diri setelah lelah dan keringatku hilang. Namun alih-alih menjalankan niat itu, aku justru didera rasa kantuk hebat. Tak butuh waktu lama bagiku terbuai ke dalam mimpi.

Mimpi yang sangat menyenangkan dan kudambakan terwujud di dunia nyata. Ibuku tiba-tiba mendatangi rumah Ayah sambil menangis sesenggukan. Memelukku erat dan menyampaikan penyesalannya telah berkata ingin memutus hubungan ibu-anak denganku. Lalu, dia juga memeluk Ayah. Pelukannya dibalas oleh Ayah. Laki-laki itu juga menangis. Kedua orang dewasa itu menatapku lalu bersama-sama minta maaf karena telah mengabaikanku. Mereka juga mengatakan hal yang mengejutkan laksana hadiah ulang tahun yang tak terduga isinya olehku. Mereka berkata ingin rujuk dan mau memulai semuanya dari awal. Aku menyadari diriku saat ini sudah tersenyum sangat lebar mendengar perkataan mereka. Kubiarkan diriku terlarut dalam haru dan menerima pelukan dari Ayah dan Ibu, karena aku tahu semua itu adalah mimpi. Hal seperti itu tidak akan pernah terjadi didunia nyata, namun kubiarkan bunga tidur ini memberikan sedikit tipuannya padaku sebelum aku kembali bangun dan menghadapi kenyataan pahit yang sebenarnya.


Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang