Keesokan paginya di sekolah, seorang guru kami yang tengah mengajar memberikan kabar jika Pak Hendra sudah sadar dari komanya dan kini berada dalam kondisi yang stabil. Kami diminta untuk terus mengirimkan doa demi kepulihan wali kelas kami itu. Murid-murid di kelasku juga berencana akan pergi bersama-sama ke rumah sakit untuk menjenguk beliau sore ini. Sayangnya, aku tidak bisa ikut meskipun ingin. Tidak mungkin kan, jika dengan beraninya aku membolos lagi dari jam kerjaku? Aku pun hanya bisa mendengus kesal mengetahui ketidakmampuanku.
"Nggun, lu enggak ikut jenguk Pak Hendra?" tanya Tara ketika bel pulang sudah dibunyikan, dan beberapa anak yang ingin ikut menjenguk sedang menunggu intruksi dari guru lainnya yang akan membina dan mengantar.
Aku menggelengkan kepala lemah, "Enggak bisa ikut. Harus kerja."
"Emang enggak bisa izin dulu, beberapa jam aja, gitu."
"Enggak bisa, belakangan ini gue udah banyak bolos. Gue titip salam aja, ya. Mudah-mudahan beliau cepat sembuh."
"Yah, ya udah deh."
Tak lama guru matematika kami datang, "Anak-anak yang mau ikut ke rumah sakit, silakan ikuti Ibu dan masuk ke dalam bus." Perintahnya.
Aku hanya bisa mengikuti barisan anak-anak tersebut dan berpisah ketika masing-masing dari mereka mulai masuk ke dalam bus.
"Anggun, enggak ikut?" tanya sang guru.
"Enggak, Bu. Saya masih ada urusan yang enggak bisa ditinggal."
"Oh gitu, baiklah." Kemudian, guru itu ikut masuk ke dalam bus.
Aku bergerak menuju gerbang sekolah. Memperhatikan ketika bus milik sekolah itu mulai pergi menjauh. Kulanjutkan langkah tanpa semangat menuju restoran.
***
Gendhis terlihat sedang duduk sambil melamun di beranda kamarnya. Sang ayah masuk setelah beberapa kali mengetuk pintu namun tak ada tanggapan dari putri semata wayangnya itu.
"Gendhis." panggilnya. Gadis yang masih dalam renungan itu tak merespons. Ayahnya berjalan mendekat. "Gendhis."
Gendhis baru menoleh dan menatap ayahnya ketika pundaknya disentuh dengan lembut. "Ayah."
"Ayah dengar kamu enggak memakan lagi makan siang yang dibawakan bibi."
"Aku enggak lapar, Ayah."
"Meskipun kamu enggak merasa lapar, tapi makan secara teratur itu perlu meskipun cuma sedikit. Tadi pagi, kamu juga enggak sarapan. Kalau sakit, gimana?"
"Ayah... gimana kondisi Hendra?" tanya Gendhis yang seolah tak mendengarkan nasehat ayahnya.
"Kamu enggak perlu memikirkan lagi kondisi laki-laki yang sudah membuat kamu jadi seperti ini, Nak."
"Setidaknya dengan tahu kondisinya, maka aku bisa merasa tenang dari rasa bersalahku, Yah."
"Kamu enggak sepenuhnya salah, Nak. Enggak mungkin ada asap jika tak ada api, begitu pun pasti ada sebab dari sebuah akibat."
"Yah, apa kondisinya semakin buruk atau membaik?"
Sang ayah menghela nafas panjang. Ada rasa kesal ketika menyadari putrinya tak mau mendengarkan satu pun perkatannya, "Ayah dapat kabar kalau Hendra sudah sadar dan kondisinya semakin stabil. Jadi, kamu enggak perlu mengkhawatirkan dia lagi."
"Syukurlah." Jawab Gendhis.
"Kamu harus makan supaya ada tenaga menghadapi pemeriksaan selanjutnya, Nak."
"Ya, Ayah."
"Kamu enggak perlu khawatir soal ancaman penjara, Ayah akan melakukan segala cara untukmu." Ujar sang ayah serasa mengusap lembut rambut anaknya. Gendhis membalas dengan anggukan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...