XXX

1.6K 72 0
                                    



Minggu keempat di bulan ini terasa berlalu dengan cepat—membuatku harus semakin menyiapkan diri menerima sebuah tanggal peresmian pernikahan baru atas ibuku. Meski tak ingin datang, tetap saja jantungku berdebar-debar menanti hari tersebut. Kegiatanku di sekolah untuk hari Jum'at ini telah usai, sesuai dengan saran Mbak Sonia, aku menghubunginya untuk menyampaikan kalau akan datang terlambat karena ingin coba mendatangi kos-an yang diceritakannya beberapa hari lalu.

"Nggun." Langkahku terhenti saat Pak Hendra baru saja keluar dari ruang guru, yang berada di sampingku. Suaranya pelan, mungkin tak ingin panggilannya yang tiba-tiba menarik perhatian warga sekolah yang lain.

"Ya, Pak?"

"Langsung ke restoran?" tanyanya.

Ah, iya aku memang tak mengatakan apapun soal pencarian tempat tinggal yang direkomendasikan Mbak Sonia karena khawatir akan tersinggung karena menolak kebaikannya untuk membiarkanku tinggal di rumah hingga lulus ujian. Aku memberikan anggukan, "Eum, iya."

"Oke, hati-hati di jalan dan langsung pulang kalau udah selesai bekerja." Ingatnya dengan berbisik-bisik.

"Saya, kan emang selalu langsung pulang kalau udah selesai kerja." Tanggapku.

"Yaa, siapa tahu aja... kamu bakal diam-diam pergi lagi seperti waktu itu." Jawabnya.

Aku memberikan kernyitan dahi, "masih diungkit aja, Pak." Balasku dan dia tersenyum dengan mengendikkan bahu, entah maksud sikapnya itu ingin memberikan pesan apa. "Saya jalan dulu." Sebelum pergi aku menyalaminya karena bagaimana pun ia adalah seorang guru.

Dalam perjalanan menuju gerbang sekolah, pikiranku kembali memutar apa yang Pak Hendra katakana barusan, 'Yaa, siapa tahu aja... kamu bakal diam-diam pergi lagi seperti waktu itu.' Aku seperti menangkap rasa paranoid darinya. Ketakutan kalau aku akan pergi lagi? Aku menggeleng-gelengkan kepala menolak pertanyaan terakhir yang muncul, "Kayaknya gue udah berlebihan... pikiran gue udah berlebihan. Enggak mungkin sejauh itu, lupakan !" aku mempercepat langkah setelah menghentak kaki kanan sekali.

***

"Kenapa juga gue mesti ngomong begitu?" Hendra bertanya untuk dirinya sendiri. Kini, ia sedang mengistirahatkan diri di atap sekolah setelah semua murid telah bubar. Sebelumnya, dia berpesan pada petugas kalau ia akan ke atap sebentar untuk mencari angin agar tak mengunci pintu dahulu saat dirinya masih di dalam gedung. "Untungnya, yang gue ajak ngomong masih anak-anak... coba kalau udah gede, bisa salah paham." Ia mulai mondar mandir, "tapi, wajar wajar aja sih gue ngomong begitu... gue yang punya rumah, jadi ada hak buat ngingetin supaya enggak seenaknya keluar masuk rumah."

'Drrt drrt drrt !' Tubuh bagian atas Hendra refleks maju ke depan saat merasakan ponselnya bergetar menimbulkan rasa geli.

"Hih, ini siapa sih yang telepon?" keluhnya, kemudian membaca baik-baik nama si penelepon, "Ye'elah si Gendhis... mau apa lagi, sih nih cewek? Dulu dia yang mengkhianati gue, malah dia yang gagal move on." Ocehnya. Dengan kasar, ia menekan tombol 'terima telepon', "Halo?" tanyanya tak ramah.

"Halo, Ndra... lagi di mana?" tanyanya seperti seorang pacar yang sedang mengecek keberadaan kekasihnya.

"Bukan urusan kamu, kali. Ada apa?" tanya Hendra.

"Aku sekarang udah di teras rumah kamu. Kamu kapan balik?"

"Hah?" nadanya terkesan merendahkan, "ngapain kamu tiba-tiba nongol di teras depan rumah? Enggak ada kerjaan, ya?"

"Ada yang mau aku omongin."

"Ya ngomong di telepon aja. Ngapain pake ke rumah?" Tanya Hendra masih tak mengerti.

Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang