"Yah, wali kelasku minta Ayah datang ke sekolah hari Jum'at." Kataku sesaat telah sampai di rumah. Aku melihatnya berbaring diatas sofa dengan dua mata terfokus pada pertandingan bola di tivi yang kebetulan di tayangkan lewat tengah malam.
Ia mengangkat kepalanya kemudian memandangku dengan sorot marah, "Kamu bikin masalah di sekolah?!" tanyanya.
Aku menggelengkan kepala, "Waliku ingin bicara dengan Ayah karena aku ketahuan bekerja sehabis pulang sekolah."
Ia mendecak sebal, "Kamu ini! Sekadar menyembunyikan urusanmu sendiri aja, enggak bisa! Kapan kamu bisa bertindak seperti orang dewasa, hah?!"
"Tapi, aku kan memang baru mau 16 tahun, Yah. Mungkin wali kelasku berpikir enggak seharusnya aku bekerja saat harus berkonsentrasi pada ujian semester mendatang."
"Itu urusanmu! bukan urusanku!" bentakan yang meluncur dari mulutnya membuatku terkejut. Kulihat, ia kembali membaringkan kepalanya di bantalan sofa. "Aku enggak akan datang. Menyusahkan aja. Apa wali kelasmu itu berpikir, aku ini orang yang punya banyak waktu untuk mengobrol?! Hah?!"
Aku menghela nafas panjang, "kalau Ayah enggak mau datang, ya udah enggak apa-apa. Paling aku akan beralasan kalau Ayah harus kerja."
Tak ada tanggapan dari Ayah soal perkataanku barusan. Aku memilih beralih masuk ke dalam kamar. Setelah membuka seluruh seragam dan menggantinya dengan piyama tidur, aku pun membaringkan tubuh diatas kasur.
Hari ini benar-benar menjadi hari yang melelahkan.Selain harus berhadapan dengan wali kelas, pelanggan-pelanggan di restoran juga lebih rewel dibanding hari biasanya. Mereka banyak meminta dan mengomentari hal yang tidak mereka sukai dari menu pesanannya lalu memaksa menggantinya dengan menu lain. Entah sudah berapa kali aku meminta maaf atas ketidakpuasan para pelanggan itu, meskipun sebenarnya kesalahan rasa makanan bukan ada padaku.
***
Keesokan paginya, aku terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Kepalaku sakit sekali, seperti ada sesuatu yang ingin pecah dari dalam.Temperatur tubuhku meningkat tajam. Aku tak tahu tepatnya, namun jika dikira-kira sepertinya lebih dari tiga puluh delapan derajat. Aku mengalami kesulitan untuk bangun.Tubuhku rasanya lemas sekali dengan rasa keram yang mencengkeram pundak dan betisku. Kedua mataku pun sulit sekali untuk dibuka.
Ada apa dengan tubuhku? Padahal kemarin, aku merasa baik-baik saja selain hanya rasa pusing yang datang beberapa kali ketika sedang bekerja di restoran.Tak lama, aku merasa ada sesuatu yang mengalir dari lubang hidungku. Apa aku terkena flu? Aku mengusap cairan itu dengan punggung tangan sebelah kanan, lalu kulihat dan kutemukan cairan itu berwarna merah. Aku mimisan?
Aku mengambil gawai yang terletak diatas meja, lalu menekan aplikasi kamera depan. Benar saja, darah merembes keluar dari lubang hidung yang juga mengeluarkan uap panas. Apa yang harus kulakukan untuk menghentikannya? Aku bangkit dari pembaringan, berjalan menuju meja belajar dan mengambil beberapa carik tisu. Kemudiah menggulung-gulungnya sebelum kusumpalkan pada lubang hidung sebelah kanan dan bernafas melalui bantuan mulut. Rasa sakit kepalaku semakin menusuk-nusuk. Dengan tertatih-tatih aku keluar dari kamar, bermaksud mencari pertolongan dari Ayah.
"Ayah?" panggilku. Suaraku terasa berat untuk dikeluarkan. Aku mengetuk pintu kamarnya beberapa kali, namun tak ada jawaban.Terpaksa aku masuk tanpa ijin. Sayangnya, orang yang saat ini kubutuhkan tak ada disana. Aku beralih ke kamar mandi, ruang tamu dan dapur untuk mencari keberadaannya. Namun, sosoknya tetap tak kutemukan.
Aku kembali ke dalam kamar untuk mengambil gawai dan berniat kemudian menelepon dengan posisi berbaring karena tak kuat menahan rasa sakit yang mendera. Aku berharap Ayah belum pergi terlalu jauh. Nada hubung terdengar beberapa kali. Perasaan harap-harap cemas menguasai hatiku kala ingat dia tidak suka dihubungi olehku secara sembarangan.
"Halo! Kenapa kamu meneleponku lagi?!" pertanyaan kasar menjadi sambutan pertama dari Ayahku.
"Ayah, sekarang dimana?Apa sudah jauh dari rumah?" tanyaku.
"Kenapa kamu menanyaiku seperti itu? Apa sekarang kamu mau berlagak seperti ibumu dulu, hah?! Menanyaiku setiap waktu?"
"Aku merasa enggak enak badan, Yah. Sepertinya kali ini cukup parah karena aku kesulitan bergerak. Apa Ayah bisa pulang sekarang dan mengantarku ke rumah sakit untuk periksa?" tanyaku dengan nada penuh pengharapan.
Aku mendengarnya mendesis dan mencerca, "Sial! Kupikir apa, ternyata lagi-lagi hal yang enggak penting. Aku ini harus bekerja, aku sibuk! Pergilah ke rumah sakit. Pakai Taksi. Sudah, jangan ganggu aku lagi!" kemudian Ayah menutup teleponnya.
Hatiku seketika terasa sakit mendengar jawabannya. Jahat sekali. Kuletakkan gawai diatas kasur. Aku menghela nafas panjang, membiarkan uap panas menghantar keluar dari hidungku. Kenapa aku harus menjalani hidup seperti ini?Kenapa aku dibiarkan sendirian, bahkan saat aku sedang sakit? Kenapa Ayah tak mau sedikitpun peduli padaku? Berbagai pertanyaan menyedihkan justru berputar-putar dalam kepalaku.
Aku berusaha menenangkan diri. Aku tidak mau kondisiku semakin buruk daripada saat ini. Jika tubuhku sudah lebih mudah digerakkan aku akan segera pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan diri. Sebelum itu, aku teringat harus mengabari wali kelas dan Jani, kalau aku tidak bisa menghadiri kegiatan sekolah hari ini. Namun, aku berharap kondisiku akan membaik sore nanti supaya aku bisa tetap bekerja direstoran.
***
Sesampainya di rumah sakit, dokter memvonisku untuk menginap di rumah sakit agar mendapatkan infus sebagai pengganti cairan tubuh yang banyak hilang. Dokter perempuan bernama Wina itu, mengatakan kesehatan tubuhku turun drastis karena kelelahan. Aku juga didiagnosis gejala tifus disebabkan pola makan yang tidak teratur. Darah yang keluar bukan pertanda penyakit serius melainkan reaksi karena temperatur tubuh yang terlalu tinggi.
Aku bertanya tentang cara pengobatan selain menginap di rumah sakit dan dokter mengatakan hanya ada satu cara yaitu dilakukan penginfusan di rumah. Dokter menyatakan keheranannya saat melihatku masih mampu datang seorang diri ke rumah sakit saat temperaturku tembus empat puluh derajat celcius. Aku diminta untuk tidak melakukan apapun selama minimal 3 hari, dan itu sama saja dengan bedrest di rumah sakit.
Akhirnya setelah dimarahi karena kekeraskepalaanku tidak mau dirawat, aku menyerah dan membiarkannya menggiringku ke ruang perawatan. Sebelumnya, aku telah menyelesaikan biaya administrasi dari uang hasil kerja yang kusimpan di bank. Aku mengaku kedua orangtuaku sedang berada di luar negeri ketika dokter Wina menanyakan keberadaan mereka berdua. Beruntung, dokter itu tak menelisik lebih jauh dan mulai melakukan perawatan terhadapku.
Satu jam berbaring dengan tangan diinfus, aku mengirimkan pesan pada Ayah dan Ibuku untuk mengabari soal kondisiku saat ini. Sayangnya, tidak terkirim karena nomor Ayah tidak aktif begitupun dengan Ibu, yang mungkin sudah ganti nomor tanpa memberitahukanku. Aku menelepon restoran untuk menyampaikan kondisiku yang diangkat oleh Lastri, penunggu mesin kasir. Tak lupa aku juga mengabari Jani serta wali kelasku. Ketiganya menyampaikan keprihatinannya padaku, bahkan saat itu Jani dan Pak Hendra berniat datang menjengukku setelah jam pelajaran usai. Bagiku keprihatinan mereka adalah sebuah ironi, karena saat mereka begitu peduli dan mengkhawatirkan kondisiku, Ibu dan Ayahku justru mengabaikanku.
![](https://img.wattpad.com/cover/122249714-288-k947570.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...