XIII

2.3K 114 2
                                    


Malamnya, setelah restoran mulai sepi pengunjung aku mendatangi Mbak Sonia yang sedang sibuk di dalam ruangannya. Dia menatap penuh tanya saat melihatku yang jarang menghampirinya di dalam kantornya.

"Kenapa?"

"Mbak Sonia, ada sesuatu yang mau aku omongin." Kataku.

"Ada apa? Kamu enggak berniat buat resign, kan?" tuduhnya, "walaupun itu hak kamu, tapi aku agak enggak rela buat ngelepas karena kita lagi kekurangan orang dan susah cari orang yang mau bekerja keras disini disaat penjualan kita lagi bagus."

"Bukan kok, Mbak." Sergahku dan diam-diam aku merasa tersanjung dengan perkataannya yang seolah sedang memujiku.

Mbak Sonia kembali terlihat berpikir dengan menelisik wajahku, " Atau kamu . . . mau minta kenaikan gaji karena berpikir aku enggak mau cari orang lain, ya?"

Aku terkekeh mendengar tuduhan lainnya, "Bukan, Mbak. Yaaa, walaupun aku juga ngarep ada kenaikan gaji, sih."

"Ya udah, duduk deh."

Aku tersenyum ketika akhirnya dipersilakan duduk di bangku hadapannya. Jarak kami kini hanya dibatasi oleh meja kerjanya.

"Apa, sih yang mau diomongin?"

"Mbak, sebenarnya aku mau minta ijin buat tinggal sementara waktu di restoran ini."

"Hah?"

Aku mengangguk sekali, "Ayah mengusirku dari rumah dan dia tidak mau melihatku lagi di tempat tinggalnya. Aku juga enggak bisa kembali ke rumah Ibu, jadi . . . sekarang aku enggak punya tempat tinggal." Aku melihat raut Mbak Sonia yang bingung, "tapi, aku enggak berencana untuk tinggal lama di sini kok, Mbak. Cuma sampai aku dapat tempat tinggal yang baru." Aku membuat janji yang meyakinkan supaya Mbak Sonia mau memberi ijin.

"Kenapa tiba-tiba Ayah kamu ngusir kamu?" tanyanya, wajahnya penuh selidik.

"Emm, Mbak ingat soal Ayahku yang minta aku membayar semua makanannya?" Mbak Sonia memberikan anggukan, "aku bertengkar dengannya soal itu. . . yaaah, kondisi kami memang sejak awal enggak terlalu baik. Ketika tiba-tiba Ayahku minta aku membayari seluruh makanan bersama kekasihnya tanpa persetujuanku, itu membuatku marah. Kami bertengkar hebat di rumah dan puncaknya kami saling berkata hal jahat kemudian Ayah memintaku pergi." Mbak Sonia belum memberikan tanggapan apapun, sepertinya dia masih berusaha mencerna cerita dariku, "Jadi, itu alasanku minta ijin untuk tinggal sementara di restoran."

Mbak Sonia menegakkan punggungnya dan bersandar pada bagian belakang bangkunya, "Aku sebenarnya enggak terlalu suka melihat ada karyawan yang mencampur adukkan fasilitas restoran dengan masalah pribadi . . . apalagi memberikan ijin karyawan tinggal di restoran, aku khawatir karyawan itu melakukan hal-hal yang merugikan. Seperti mencuri atau menyalahgunakan ruangan di restoran."

Hatiku mencelos mendengar perkataan Mbak Sonia yang seolah telah menuduhku akan bertindak buruk di restoran, Tapi kalau bukan di restoran, aku harus kemana?

"Tapi, karena aku cukup tahu bagaimana sikapmu selama bekerja . . . jadi, aku akan kasih ijin."

Kedua mataku melebar saat mendengar ijin tercetus dari mulutnya, "Beneran, Mbak?"

Dia mengangguk, "Tapi, enggak lebih dari seminggu. Kalau sampai batas waktu yang aku kasih, kamu masih belum dapat tempat tinggal . . . yaaaa itu, urusan kamu. Bukan lagi jadi urusan restoran."

"Makasih, Mbak."

"Dan ! aku akan bilang sama penjaga restoran buat ngawasin kamu secara ketat supaya enggak terjadi hal-hal yang enggak diinginkan berkaitan dengan restoran."

Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang