12 tahun. . .
Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku.
Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah.
Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Keesokan tepat pukul setengah 7 malam, saat aku telah diizinkan pulang supaya bisa melakukan perpindahan tepat ke kosan Bu Tantri, aku agak terkejut ketika melihat sosok Pak Hendra sudah menunggu di atas motornya di depan restoran. Ia memberikan senyum dan lambaian tangan sekilas kemudian turun menghampiriku. Kedua tangannya terulur hendak membantuku membawakan tas-tas besar di tangan. Satu tas ia coba kaitkan talinya di pengait yang terdapat di bagian depan motor. Satu tas lagi, ia tumpuk dan diapit dengan kedua kakinya agar tak jatuh. Sisanya aku bawa sendiri.
"Bapak nunggu di sini dari jam berapa?" tanyaku penasaran yang juga sudah duduk tenang di jok belakang.
"Dari jam 6. Saya mampir ke supermarket dulu sebelum ke sini buat minum kopi." Ia mengakui.
"Kenapa enggak nunggu sekalian di resto aja?"
"Emang kalau seandainya saya nunggu di sana, boleh makan minum gratis?" tanyanya yang kemudian mulai menjalankan kendaraan pribadinya.
"Enggak lah."
"Nah, makanya dibanding saya makan atau minum di resto kamu yang terhitung enggak murah-murah amat mending saya melipir di supermarket. Beli kopi yang murah tapi udah enak."
"Pesan air putih aja, murah kok Pak. Enggak sampai 10 ribu,"
"Tetap mahal karena udah kena pajak dan service." Jawab Hendra.
"Supermarket mana, Pak?"
"Itu... yang biasa kamu kunjungin juga, yang dulu malam-malam kita enggak sengaja ketemu pas saya belum tahu letak restoran kamu."
"Oooh."
"Eh, ini arahnya ke mana? Tunjukkin."
Mendengar permintaannya aku pun menunjukkan arah jalan yang benar. Kira-kira 50 meter di depan, kulihat dengan jelas sosok Meta sedang berjalan sambil bergandengan tangan di trotoar jalan. Dengan seorang pria yang bukanlah sosok ayahku melainkan seorang pria yang beberapa hari lalu membawanya ke sebuah hotel. Saat diam-diam sedang memerhatikan Meta, tiba-tiba saja motor berhenti beberapa meter di depan, dan tentu saja aku panik karena khawatir jika akhirnya Meta mengetahui keberadaanku yang melihatnya. Aku segera memalingkan muka ke arah lain agar tak bersinggungan tatapan dengannya.
"Kenapa berhenti, sih Pak?" tanyaku dengan suara pelan.
"Eh, Nggun... itu bukannya istrinya Ayah kamu, ya? Dia sama siapa, kayaknya bukan Ayah kamu."
"Pak, jangan berhenti di sini dong. Kalau dia lihat, gimana? Saya malas kalau harus ada adegan tegur sapa sama dia." Tegurku. Kulihat Pak Hendra sempat menolehkan kepalanya ke belakang mencari wajahku. Segera kuberi isyarat dengan sedikit mengendikkan kepala ke depan, agar ia mau segera melajukan kembali motornya. Kemudian tanpa banyak bertanya lagi, guruku itu kembali melajukan motornya.
"Tapi, itu benar istri Ayah kamu, kan dan cowok di sampingnya bukan Ayah kamu?"