Akhirnya, proses pemeriksaan selesai setelah aku menghabiskan waktu 5 jam. Kuceritakan semua hal yang dilakukan oleh Gendhis selama ini padaku dan juga Pak Hendra. Aku juga sempat menanyakan apa yang Gendhis lakukan saat ini setelah insiden percobaan pembunuhan kemarin. Kemudian, salah satu polisi menginformasikan kalau Gendhis masih ditahan. Aku juga diberitahu kalau sebelumnya ada seorang laki-laki-yang juga teman Pak Hendra, memberikan cerita yang sama denganku. Laki-laki itu bahkan juga menyerahkan sebuah video dan foto-foto berisikan wajahku dan Pak Hendra, yang diyakini diambil diam-diam oleh Gendhis. Dalam pengakuan teman Pak Hendra itu, sebelum kejadian penabrakan Gendhis dipercaya sudah memiliki niat untuk membuat masalah dengan Pak Hendra. Tentunya dengan bukti dan pernyataan tersebut, seharusnya sudah cukup membawa Gendhis masuk ke dalam penjara.
Aku keluar dari kantor polisi dengan perasaan lega dan diikuti dengan suara lapar yang dari perutku. Aku baru ingat kalau sepanjang hari belum sempat makan apapun, hanya minum di restoran sore tadi. Mengikuti keinginan perut, aku pun berjalan mencari-cari penjual makanan yang akan membuatku berselera dan pilihan ku pun jatuh pada gerobak sate. Aku pesan satu untukku dan satu lagi untuk Kenji. Malam ini, aku kepikiran untuk menginap dan ikut menjaga Pak Hendra. Tapi...ada baiknya aku hubungi Kenji dulu untuk memastikan kalau malam ini, masih dirinya yang menjaga.
"Halo, Ken."
"Kenapa, Nggun?"
"Lu masih di rumah sakit?"
"Enggak, gue udah balik. Tadi, kepsek lu datang jam 8-an dan nyuruh gue balik."
Aku merasa kecewa karena dengan adanya kepala sekolah, tentu saja niatku untuk menginap di rumah sakit batal. "Oh, gitu. Ya udah, deh."
"Eh, lu masih di kantor polisi?"
"Enggak, ini gue udah mau balik tapi mau makan dulu sebelum pulang."
"Makan di mana?"
"Dekat kantor polisi."
"Makan apa?"
"Sate."
"Gue mau juga doonggg, belum makan nih gue. Karena jagain guru lu, gue enggak bisa nyari duit kan."
"Iya, gue tahu kok. Makanya, gue juga udah beli satu porsi buat lu."
"Sippp, thanks ya."
"Bu Tantri udah di rumah?"
"Belum, nih. Kayaknya lagi betah di rumah anaknya."
"Oh gitu. Oke deh."
"Jangan kelamaan ya, Nggun dah lapar nih gue."
"Iya iya." Sambungan telepon pun terputus. Aku menghampiri sang tukang sate dan mengatakan kalau aku tidak jadi makan di tempat melainkan minta semua makanan dibungkus. Pikirku, akan lebih baik jika makan bersama-sama dengan Kenji di rumah sekaligus tak membuatnya menunggu kedatanganku terlalu lama.
***
Di rumah sakit yang sama namun berbeda gedung, Adli terbaring tak berdaya di ruang perawatan. Sejak kelumpuhannya tadi pagi, hingga kini kakinya masih belum bisa digerakkan. Dokter mengatakan kalau Adli terkena stroke dan masih dalam pengawasan selama dirinya masih belum bisa menggerakkan kakinya. Meta baru saja kembali dari membeli makanan untuk dirinya sendiri.
"Belum ada kemajuan apa-apa, Mas?"
"Belum, aku masih berusaha buat gerakin kaki aku."
"Ya udah, jangan terlalu dipaksakan. Pelan-pelan aja. Kamu makan dulu ya, terus minum obatnya lagi." Meta mengambil makanan yang beberapa saat lalu diantarkan oleh petugas rumah sakit. "Kamu jangan banyak pikiran juga. Relaks, supaya organ tubuh kamu bisa berfungsi lagi."
"Iya. Kamu beli apa?"
"Nasi padang. Tempat makan yang dekat cuma itu soalnya." Jawab Meta seraya mengarahkan sendok berisi nasi dan lauk ke mulut suaminya.
10 menit kemudian, Adli telah selesai makan kemudian disusul dengan meminum obat. Selesai mengurus Adli, kini berganti Meta yang makan.
"Ay, kamu pulang dan istirahat di rumah aja, ya... pasti capek, kan bolak-balik dari pagi."
"Kamu ngomong apa, sing Yang. Mana mungkin aku ninggalin kamu sendirian malam ini. Kalau ada apa-apa, gimana? Misal tiba-tiba dokter minta aku beli obat buat kamu, atau ketika kamu mau buang air kecil. Mana tega, sih aku."
"Kan aku bisa minta tolong suster. Nih, ada tombol panggilnya deket." Jawab Adli seraya menunjuk tombol kecil yang terletak sejengkal di atas ranjangnya.
"Enggak. Aku enggak mau suamiku diurus orang lain untuk keperluan pribadi."
Adli tersenyum karena terenyuh dengan kata-kata Meta yang penuh rasa pengertian dan perhatian.
"Udah kamu enggak usah mikirin aku. Sekarang mending kamu tidur, dan besok latihan jalan."
"Oke, mamahh sayang." Jawab Adli sambil mencubit pelan pipi istrinya yang sedang mengunyah.
***
Ayah Gendhis terlihat sedang menatap tajam, Rita, seorang psikolog dari balik meja kerjanya, yang sejak kemarin dan pagi tadi mengikutinya ke penjara untuk bertemu dengan Gendhis.
"Jadi, apa ada yang ingin anda sampaikan setelah melihat kondisi Gendhis kemarin?" tanyanya dengan serius.
"Dari hasil pengamatan saya, Gendhis memang menunjukkan gejala-gejala penyakit psikologis, Pak."
"Lalu, dari hasil yang kau temukan itu, apakah akan membuat anakku bebas dari ancaman penjara?" tanyanya lagi.
"Melihat tindakan anak Bapak yang sudah masuk kategori kriminal dan dilakukan secara sadar, menghindari ancaman hukuman penjara nampaknya sulit, Pak. Tapi... mungkin kita bisa ajukan banding dengan menyodorkan data tentang kondisi kejiwaan Gendhis sehingga anak Bapak enggak perlu masuk ke penjara versi jeruji besi melainkan harus dirawat di rumah sakit jiwa."
Ayah Gendhis menumpukkan ke dua tangannya. Wajahnya terlihat sedang merenungkan semua hal yang disampaikan oleh sang psikiater di hadapannya. "Apa kau bisa memastikan, kita bisa memperoleh opsi yang ke dua."
"Jika datanya meyakinkan, besar kemungkinannya untuk dipercaya kepolisian dan kejaksaan tapi..."
Ayah Gendhis melirik sinis pada Rita. Ia mulai merasa tidak suka mendengar kata "tapi" ketika sebuah kalimat berisi harapan dimunculkan.
"...semua itu bisa diwujudkan jika psikiater yang diutus oleh kepolisian memiliki hasil pemeriksaan yang sama untuk menguatkan pernyataan kita." Rita sedikit menunduk.
Ayah Gendhis memundurkan tubuhnya dan bersandar pada punggung kursinya, "Pertama-tama mari kita lakukan cara itu, dan..." ia menjeda perkataannya, "...bisakah saya meminta bantuan anda untuk melancarkan rencana ini?"
"Saya akan melakukan sebisa saya untuk meyakinkan psikiater yang diutus oleh kepolisian."
"Baiklah, mari kita lakukan."
Percakapan di antara mereka pun diakhiri. Ayah Gendhis mempersilakan Rita untuk keluar dari ruang kerjanya, guna mempersiapkan data-data untuk membebaskan Gendhis dari kurungan penjara.
"Setelah ini, Ayah akan pastikan kamu tidak akan lagi bertemu dengan laki-laki yang sudah merusakmu sampai sejauh ini, Nak." Gumam sang Ayah pada dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...