Aku baru saja menyelesaikan jam kerja di restoran dan akan bersiap-siap untuk pulang. Aku bergegas pergi menuju ruang ganti untuk mengambil tas dan mengganti pakaian. Saat selangkah lagi akan masuk ke dalam ruangan, Mbak Sonia tiba-tiba memanggil.
"Ada apa, Mbak?"
"Nggun, aku enggak tahu kamu masih butuh informasi ini atau enggak... tapi, kemarin aku lihat ada kos-an kosong dekat-dekat sini. Kali aja, kamu masih nyari tempat tinggal." Ujarnya.
"Dekat-dekat sini? Di mana, Mbak? Aku enggak ngeh kalau ada kos-an kosong."
"Itu lho, yang dekat gedung tempat les. Dua rumah dari situ. Di pagarnya ada pengumuman kok, kalau ada kamar kos yang kosong. Kalau kamu minat, bisa tanya-tanya dulu ke sana. Bisa jadi harga sewanya cocok."
Aku menganggukkan kepala, "Eum, untuk sekarang aku udah enggak memusingkan soal tempat tinggal, sih Mbak...." jawabnya denga sedikit ragu.
Merasa mengerti dengan alasan jawaban yang diberikan olehku, bahwa kini sudah memiliki tempat tinggal baru, membuatnya refleks tersenyum, "Karena wali kelasmu itu enggak keberatan kamu tinggal di sana, ya?" tanyanya.
"Iya. Dia bilang, saya bisa tinggal di sana bahkan sampai lulus. Izinnya itu... bikin saya hampir lupa kalau saya seharusnya mencari tempat tinggal lain." entah bagaimana penjelasanku malah diiringi kekehan di akhir perkataan.
"Hmm, gitu... tapi, apa keluarganya enggak apa selama kamu di sana?"
"Mm, Pak Hendra itu udah enggak punya siapa-siapa. Kedua orangtuanya... udah meninggal."
Mbak Sonia terkejut mendengar pengakuan yang kukatakan, "Jadi, maksud kamu... di sana, kamu cuma berdua, gitu?"
Aku mengangguk dengan perasaan bersalah karena telah terlalu polos menjawab pertanyaannya. Saat ini, aku yakin dia mulai khawatir dengan keadaanku. Seorang perempuan tinggal bersama seorang pria tanpa keluarga... jelas aneh, meski kenyatannya hubungan kami hanya sebatas murid dan guru.
"Mmm, kalau gitu... menurut Mbak... walaupun hubungan kalian cuma murid dan guru, tapi masih enggak baik laki-laki dan perempuan tanpa ikatan apapun tinggal bersama di satu rumah. Walau kamu yakin enggak akan terjadi apa-apa, tapi... masih tabu rasanya kalau kamu tinggal dengan perasaan ringan, hanya karena wali kelas kamu sudah mengizinkan." Nasehatnya, sangat sesuai dengan apa yang kukhawatirkan.
Perkataan managerku barusan memang ada tidak salah, dan tak pula bermaksud menyinggung keputusanku. Dulu aku sempat memikirkan hal serupa dan berjanji pada diri sendiri untuk mencari tempat tinggal lain tapi akibat merasa kesusahan menemukan tempat yang cocok, aku langsung menerima tawaran tinggal sepuasnya dan lupa dengan janjiku sendiri. Aku menatap Mbak Sonia, "Aku paham sama maksud Mbak dan baru sekarang aku menyadarinya." Tanganku bergerak menggaruk kepala bagian belakang yang tiba-tiba terasa gatal, "mungkin nanti kalau ada waktu kosong, aku akan coba bertanya ke kos-an yang Mbak bilang tadi."
Mbak Sonia mengangguk, "Kalau kamu butuh waktu libur untuk bisa ke sana, bilang aja asal jangan terlalu sering."
"Iya, makasih ya Mbak."
"Sama-sama. Sekarang kamu sebaiknya buru-buru pulang." Ia berlalu pergi menuju dapur saat aku memberikan tanggapan dengan anggukan kepala.
Selama berganti pakaian, aku terus memikirkan perkataan Mbak Sonia dan menyalahkan diri sendiri akibat sikapku yang terlalu cuek cenderung seenaknya belakangan ini sehingga tidak memedulikan pemikiran orang lain atas tindakan yang kuambil. Apa sebaiknya...besok gue coba saja ke sana? Enggak perlu sampai libur sehari, sejam aja kayaknya cukup. Sayang kalau sampai libur, pendapatan akan berkurang. Aku pun telah mencapai keputusan akhir dan segera pergi begitu seluruh barang telah kubawa dari loker.

KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...