VII

3.3K 125 2
                                    


Aku hanya dirawat selama dua hari dua malam karena kondisiku yang semakin membaik sehingga dokter mengijinkanku pulang dengan banyak obat yang harus diminum selama pemulihan. Sebelum melepas kepergianku, Dokter Wina memperingatkanku untuk hidup dengan pola yang sehat dan teratur. Aku diminta mengurangi kesibukan dan memperbanyak istirahat serta makanan bergizi.

Aku pergi menuju rumah dengan kondisi sedikit terhuyung akibat terlalu banyak berbaring di tempat tidur rumah sakit. Sesampainya di rumah, aku menemukan sepatu ayah ditata di atas lemari khusus alas kaki. Setelah melepas sepatu, aku celingukan mencari sosok Ayah di sekitar ruang tv dan dapur.

"Oh? Kamu baru pulang?" aku melihat Ayah baru keluar dari kamar mandi dengan handuk tersampir di bahunya. "kamu pergi kemana selama dua hari?" tanyanya dengan raut tanpa ekspresi, kemudian duduk di sofa dan menyalakan tv tanpa menyampirkan handuknya dulu di tiang pengeringan. Ia tak terlihat marah atau khawatir saat tahu putrinya menghilang selama dua hari tanpa kabar.

"Kenapa nomor Ayah enggak bisa dihubungi?" tanyaku. Aku berharap suara yang keluar adalah suara kemarahan atau jeritan protes karena ketidakpedulian Ayah terhadap kondisiku. Namun, aku tak mengerti ketika yang keluar malah nada terkesan datar.

"Oh, aku ganti nomor begitu kamu menghubungiku terakhir kali. Aku takut kamu akan menghubungiku lagi dan akan mengganggu pekerjaanku."

"Begitu. Bisa aku minta nomor Ayah lagi?" tanyaku yang malah terkesan kalau pengakuannya itu bukanlah masalah.

"Akan kukirimkan nanti. Aku masih menyimpan nomormu, kok." Kata Ayah. Tangannya sibuk menggonta ganti channel, entah acara apa yang ia cari. "Jadi, selama dua hari ini kamu kemana?" tanyanya lagi.

"Aku menginap di rumah sakit." Kataku yang kemudian secara perlahan berjalan menuju kamar.

"Rumah sakit? Kamu punya teman pegawai rumah sakit, makanya bisa menginap disana?" pertanyaan Ayah kali ini benar-benar terdengar bodoh di telingaku.

"Bukan. Aku dirawat karena dokter mengatakan aku terkena gejala tifus, dan harus diinfus disana." Jawabku. Tanganku sudah memegang gagang pintu, namun aku urung segera masuk karena ingin mendengar reaksi Ayah selanjutnya.

"Oh, gitu." Tanggap Ayah, yang membawa kekecewaan untukku. "Biaya administrasi dan obat-obatan sudah kamu yang bayar, kan? Aku enggak akan mau bayar kalau ada tagihan yang datang ke rumah."

"Iya. Sudah kubereskan." Tubuhku sudah berada di dalam kamar. Tanganku bergerak menutup rapat pintu kemudian menguncinya. Aku menyandarkan punggungku pada daun pintu. Reaksi Ayah benar-benar diluar dugaan. Padahal aku berharap, walaupun hanya sedikit atau sebentar, dia akan terkejut ketika mendengar aku sakit hingga di rawat. Menanyakan apakah sekarang aku sudah baik-baik saja atau menanyakan apa yang kubutuhkan. Namun nyatanya, harapan hanyalah sebuah harapan yang tak akan pernah menjadi kenyataan dan seharusnya aku sudah tahu itu akan terjadi.

***

Sejak pukul 7 malam, Ayah sudah tidak berada di rumah. Ia pergi dengan penampilan yang rapi dan wangi. Ketika aku menanyakan tujuan kepergiannya, dia menjawab akan makan malam dengan klien yang sudah memberinya bonus besar.

Berbanding terbalik dengan Ayah yang akan malam di luar, aku sendiri belum memakan apapun untuk malam ini karena beras persediaan yang kubeli bulan lalu, telah habis. Di lemari es juga tidak ada bahan makanan yang tersisa kecuali daun bawang yang mulai membusuk.

Awalnya, aku akan bertahan saja untuk tidak makan karena waktu yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku lupa waktu saat sedang beres-beres lantai kamar yang berdebu akibat dua hari tidak ditinggali, sekaligus memasang sprei baru. Setelah menimbang cukup lama dan menatap obat yang belum kuminum akhirnya kuputuskan untuk keluar hendak ke supermarket yang jaraknya satu kilometer dari rusun.

Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang