XLV

612 46 7
                                    


Tak terasa masa-masa ujian akhirnya selesai. Aku menghela nafas lega dan melakukan perenggangan tangan ke atas. Melemaskan leher yang terasa pegal karena harus menatapi kertas soal di atas meja sepanjang hari. Merasa cukup, aku mulai memasukkan satu persatu peralatan sekolah ke dalam tas, dan hendak bersiap pergi menuju restoran. Aku mengucap syukur karena hari ini aku bisa fokus bekerja tanpa harus membagi waktu dengan belajar.

"Anggun." Panggil Frisda yang datang menghampiri tempatku.

"Besok, gue sama anak-anak mau jalan-jalan sekalian karaoke. Lu ikutan juga, yuk. Mau enggak?"

"Besok, ya? jam berapa?"

"Sekitar jam 3-an sore. Ngumpul di depan sekolah aja biar gampang dan jalan bareng. Bisa? Bisain lah, sesekali ikut main bareng... jangan kerja mulu." Frisda sangat memelankan suaranya.

"Gue usahain, deh. Mudah-mudahan dapat izin dari Bos hehehe. Nanti, gue kabari via whatsapp."

"Oke. See you soon." Frisda melambaikan tangannya sebelum pergi bersama dengan teman-temannya.

Aku kembali memasukkan peralatan yang masih tergeletak di atas meja. Mengepaknya dengan rapi sebelum akhirnya menggendong ransel tersebut. Kupendarkan tatapan ke sekitar dan menemukan kini di kelas hanya terisi dua orang siswa yang juga akan segera keluar. Aku berjalan dengan buru-buru supaya bisa tiba di tempat kerja tepat waktu.

Saat akan mencapai gerbang sekolah, kulihat Pak Hendra juga sedang berjalan menuju satu sisi. Kulambatkan langkah supaya tidak berpapasan dengannya. Dari belakang kudapati dirinya berjalan mengarah ke sebuah mobil yang terlihat familiar untukku. Mobil Gendhis. Aku tak bisa melihat ke bagian dalam, karena perempuan menyeramkan itu sengaja memakai kaca plastik berwarna gelap. Aku tak ingin terlalu lama memerhatikan karena takut dari dalam Gendhis juga menyadari kehadiranku. Akhirnya aku memilih melipir ke arah yang biasa kugunakan untuk menuju restoran.

***

"Eh, itu murid lu baru keluar... enggak mau di sapa dulu, Hend?" tanya Gendhis yang melihat sosok perempuan yang paling dibencinya saat ini keluar dari gerbang sekolah.

Hendra yang sedang duduk pasrah di bangku penumpang, samping Gendhis, menatap sosok muridnya itu. Tak lama karena dia kembali melirik Gendhis. "To the point aja, deh Ndhis... sebenarnya lu mau ngapain datang ke sekolah lagi? Kan gue udah nuruti kemauan lu kemarin."

"Duuuh, jangan galak-galak gitu lah, Hend. Gue ngancem lu pakai rekaman itu bukan buat dijutekin atau sekadar lu jauhin itu anak... tapi, gue mau lu juga mulai bersikap baik dan melihat sisi baik gue."

Hendra mendengus dan memberi senyum sinis, "Sisi baik apanya, cara lu pakai ancaman, nguntit dan ngikutin gue setiap waktu, mana bisa dibilang baik." Ujarnya.

"Ya terpaksa, abis lu enggak ngerubah hati lu sih. Sekarang..." Gendhis meletakkan tangan kirinya ke bangku Hendra. "...mending kita mulai lagi dari awal, kayak waktu awal-awal kita PDKT duluuu. Lebih asyik, ya kan?"

Hendra menatap lekap mata perempuan yang suka memaksakan kehendaknya itu. "Kalau gue enggak mau?"

"Yaaa... gue paksa sampai lu mau." Ujar Gendhis dengan nada santai.

"Mau sampai kapan lu kayak gini?"

"Sampai lu jatuh hati lagi sama gue."

Lagi-lagi Hendra mendengus dan memasang raut sinis, "Dengan sikap lu yang sekarang? Enggak akan, Ndhis." Ia memberi penegasan.

"Gue bisa berubah, kok. Lu mau gue berubah jadi cewek yang kayak gimana, gue turutin... gue bisa kasih apapun buat lu."

"Enggak ada gunanya, Ndhis. Lagian lu apa banget, sih... kayak enggak ada cowok lain aja. Yang lebih ganteng, lebih kaya, lebih bisa ngasih perhatian ke lu, gitu. Kenapa harus banget gue?" omel Hendra.

Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang