IV

3.2K 160 0
                                    

Alarm gawai yang kupasang semalam berbunyi. Semalam aku tidak mengaktifkan jam weker seperti biasanya, karena ingin mendengarkan alarm berisi lagu yang dinyanyikan oleh salah satu girlband Korea dengan judul Into The New World. Meskipun lagu lama, namun aku tak pernah bosan mendengarnya karena arti lirik dan alunan musiknya yang membantuku lebih bersemangat menjalani hari. Aku bangun dan terduduk. Kondisiku terasa membaik. Rasa pusing tak lagi mendera, kecuali rasa pegal yang masih menghinggapi tangan dan punggung. Aku menguap lebar, lalu menghela nafas kuat-kuat.

Aku mengambil gawai yang kuletakkan di atas kasur, disebelah guling yang kupeluk semalaman suntuk. Layarnya berkedap kedip, menunjukkan angka setengah enam pagi.Ini adalah waktuku untuk bersiap-siap ke sekolah. Aku mengambil handuk baru dari dalam lemari, karena handuk pink yang biasa kupakai sedang kucuci dan sepertinya belum kering di beranda.

Kulangkahkan kedua kakiku keluar, dan menemukan suasana ruangan yang masih sunyi.Aku bertanya-tanya tentang waktu kepulangan Ayah. Mungkin, dia masih terlelap didalam kamarnya. Aku melirik ke area ruang tengah, tempat sofa dan tv berada, kondisinya masih sama seperti saat semalam kubersihkan. Aku beralih menuju kamar Ayah yang terletak disamping kamarku, membuka pintunya perlahan dan mengintip dari celah terbuka. Tempat tidurnya kosong dan dengan kondisi masih rapi. Pintu kubuka lebar, kedua mataku menelisik ke seluruh ruangan, tak ada siapapun didalam sana. Melihat itu, aku sadar Ayah tidak pulang semalam.

Aku menutup kembali pintu kamar Ayah dan beranjak pergi menuju kamar mandi. Dalam perjalanan, aku menduga-duga kapan Ayah akan pulang. Mungkinkah pagi ini?Atau nanti malam? Aku hanya berharap semoga tidak berhari-hari, karena terakhir kali, Ayah pernah pulang tiga hari kemudian dengan alasan pergi ke luar kota bersama dengan teman-teman di tempat kerjanya tanpa mengabariku terlebih dahulu.

***

Sepulang sekolah seperti biasa, aku bergegas ingin keluar dari gedung untuk menuju Family's Resto. Namun, begitu sudah dipelataran aku termangu melihat cuaca yang berubah menjadi hujan deras diiringi angin. Aku tidak membawa payung, karena payung terakhirku rusak dibagian jeruji sehingga sudah tidak lagi layak untuk digunakan. Jani, teman sebangkuku, tidak masuk hari ini karena demam.Sehingga, saat ini tak ada orang yang bisa kumintai tolong.

Satu persatu siswa dan siswi di sekolahku pergi menerjang hujan dengan payung-payung mereka. Ada juga siswa-siswa yang nekat berlarian karena lupa membawa payung, dan menjadikan tas mereka sebagai penghalang diatas kepala mereka. Terpikir olehku untuk melakukan hal yang sama, namun urung kulakukan saat ingat tasku terbuat dari bahan kain sehingga air akan dengan mudah terserap. Aku tak mau membuat buku-buku didalamnya menjadi basah.

Aku melihat jam pada layar gawai. Pukul empat sore, masih satu jam lagi sebelum jam tugasku di restoran. Dalam hati, aku berharap semoga hujan segera reda sehingga aku tak mengalami keterlambatan.

"Gun? Kok belum pulang?" pertanyaan yang berasal dari Pak Hendra, wali kelasku, membuatku menoleh. Ia berdiri dibelakangku dengan sebuah payung hitam besar ditangannya.

Aku menggelengkan kepala, "Hujannya masih deras, Pak." Jawabku.

"Kamu enggak bawa payung?" tanyanya lagi.

"Enggak, Pak. Payung saya ditaruh di rumah. Saya enggak tahu kalau hari ini akan hujan."

"Mau ikut sama Bapak sampai halte depan? Rumahmu ke arah mana?" tanyanya lagi.

"Saya enggak pulang ke rumah, Pak. Mau pergi ke tempat lain dulu." Kataku.

"Lho mau kemana? Ini udah sore, lho." Pak Hendra menatapku dengan curiga.

Aku merasakan kebimbangan untuk menjawab pertanyaan wali kelasku itu. Apa tidak apa-apa kalau aku mengatakan akan bekerja? Toh, tak ada dalam peraturan kalau sekolah melarang muridnya bekerja demi bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

"Gun? Kok kamu bengong?Coba jawab pertanyaan Bapak, kamu mau kemana?" aku melihat rautnya semakin khawatir. Entah apa yang sudah berada didalamnya. 

"Saya. . ." kalimatnya terhenti.

"Kamu bukan mau main atau nongkrong enggak jelas, kan?" tanya Pak Hendra lagi. "Sebentar lagi kamu akan menghadapi ujian akhir semester, lho."

"Bukan, Pak."

"Terus, kamu mau kemana?"

"Sebenarnya. . . saya mau pergi kerja, Pak. Saya bekerja sebagai pelayan di salah satu restoran keluarga yang letaknya enggak begitu jauh dari sini." Akhirnya aku berkata jujur daripada harus dicurigai hal-hal yang buruk dan membuat image-ku jelek dihadapannya.

Pak Hendra terlihat terkejut mendengar jawabanku, " Kamu kerja?" nadanya agak meninggi. Aku mengangguk ragu karena khawatir dengan ekspresi tidak suka wali kelasku, "kamu itu masih dibawah umur, masih sekolah, kenapa malah bekerja? Gimana caranya kamu membagi waktu untuk belajar?" tanyanya bertubi-tubi.

"Saya harus melakukanya supaya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membayar biaya sekolah." Jawabku.

"Tapi, itu bukan tugas utama kamu. Seharusnya bekerja adalah tugas orang dewasa, orangtua kamu."Pak Hendra menekankan dua kata terakhirnya.

"Saya tahu, Pak. Tapi, saya harus melakukan ini.Bapak tenang aja, bekerja enggak akan mengganggu kegiatan sekolah saya."Aku meyakinkannya.Lalu, saat melihat kondisi hujan telah berganti dengan rintik membuatku berpikir harus segera mengakhiri obrolan ini, "Pak, saya duluan ya." Aku meraih dan menyalami tangannya dengan cepat kemudian berlari menuju gerbang.

Dalam pelarian, aku berharap semoga pengakuan yang kulakukan pada Pak Hendra tidak akan memicu masalah baru. Semoga dia tidak akan memanggilku besok dan memaksaku berhenti bekerja atau memanggil Ayahku, dan mencapnya tak bertanggungjawab, meskipun itu adalah kenyataan yang benar.

***

Malam hari, pukul 9 malam, manajer menutup restoran lebih cepat karena ingin merayakan keberhasilan mereka mencapai target penjualan menu bulan ini. Aku menolak untuk ikut karena orang-orang dewasa itu memilih merayakannya di sebuah klub malam.

Sambil berjalan, sesekali aku menyesap es krim cokelat ditangan, yang kubeli dari kedai es krim dekat restoran. Ini adalah cara lain untuk menghargai kerja kerasku selama sebulan. Meskipun bukan makanan mahal, tapi dengan makan es krim seharga tujuh ribu rupiah ini, aku sudah merasa senang.

Langkahku terhenti saat melihat puluhan anak muda seumuran denganku keluar dari sebuah gedung. Diantara mereka ada yang masih pakai seragam, ada juga yang sudah berpakaian bebas.Aku menoleh ke arah gedung di sampingku. Gedung itu adalah tempat bimbel yang menawarkan jasa pengajaran Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Komputer.

Ini pertama kalinya, aku berhenti sekadar melihat murid-murid tempat kursus tersebut keluar dari tempat bimbel tersebut. Menelisik beberapa karyawan dan pengajar yang terlihat bolak balik di dalam gedung. Biasanya tempat itu kudapati sudah gelap dan kosong saat pulang dari restoran.

Sebenarnya, aku merasa iri dengan murid-murid itu, yang memiliki kesempatan menikmati pelajaran tambahan di masa-masa persiapan ujian seperti sekarang. Namun apa daya, terbentur biaya, aku mengubur rasa ingin itu. Semakin dipikirkan, aku merasa mereka, murid-murid yang berjalan didepanku, beruntung mendapatkan dukungan penuh dari kedua orangtua mereka.

Aku menjilat kembali es krim yang setengahnya mulai meleleh dan melanjutkan perjalanan menuju rumah. Karena kebaikan manager hari ini, aku bisa punya kesempatan belajar lebih lama dan tidur lebih cepat.


Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang