XIX

1.7K 82 5
                                    

Malam harinya, pukul 11 malam aku baru sampai di depan pintu rumah Pak Hendra dengan membawa sisa barang yang kemarin masih tersimpan di loker. Aku merasa bisa melangkah dengan lebih ringan setelah mendiskusikan jam kerjaku pada Mbak Sonia. Meskipun pada awalnya ia terlihat keberatan dan berpikir cukup lama, ia akhirnya mengijinkanku pulang jam 10 malam. Sebagai gantinya, aku akan bekerja pada hari Sabtu dan Minggu dari jam 8 pagi hingga pukul 6 sore. Aku juga sudah menghubungi Pak Djanuar mengenai keinginanku berhenti menjaga minimarketnya dan beliau pun mengerti serta berjanji akan membayar uang jagaku beberapa minggu lalu. 

Aku mengetuk pintu kayu dihadapanku beberapa kali hingga terdengar sebuah kunci diputar dari dalam. Menampakkan penampilan Pak Hendra yang lebih santai dengan celana bahan biru dongker selutut dan kaos oblong berwarna putih. Dia memberi sedikit celah agar aku bisa masuk ke dalam. 

"Manager kamu akhirnya ngasih izin?" tanyanya saat aku mengikutinya menuju sofa. 

"Iya. Sebagai gantinya, saya akan kerja di hari Sabtu dan Minggu." 

"Oh gitu . . ., " dia duduk di sofa panjang. Televisi dihadapannya menyala, "tetap enggak mau rugi, ya." 

"Saya, sih yang mengajukan tawaran bekerja di hari weekend. Habis, saya ngerasa enggak enak udah banyak minta pengertian dari Mbak Sonia selama ini." aku duduk di sofa kecil. "Bapak belum tidur?" 

"Mana bisa saya tidur, kalau kamu belum pulang. Bisa-bisa kamu tidur di luar. Soalnya saya kalau udah pulas susah dibangunkan." terangnya. 

Aku jadi merasa tidak enak mendengar perkataannya, kesannya aku lah penyebab dia tidak bisa beristirahat. 

"Saya udah sedikit beres-beres buat kamar kamu, tapi tetap aja belum bisa ditiduri. Jadi, kayaknya malam ini kamu bakal tidur disini lagi." 

Aku memberi seulas senyum, "Enggak apa-apa, Pak. Saya justru merasa bersalah karena jadi ngasih kerjaan baru buat Bapak. Harusnya, kan saya yang beres-beres karena saya yang butuh tempat tinggal." 

"Enggak masalah, saya paham kok sama kondisi kamu. Oh iya, saya mau bikin teh hangat, kamu mau?" tanyanya. 

"Enggak usah, Pak." jawabku. Pak Hendra pun berdiri menuju dapur. "Pak, apa benar enggak apa-apa saya tinggal disini? Karena kalau dipikir-pikir lagi, dengan jam pulang saya yang selalu malam, pasti selalu ganggu jam istirahat Bapak." akhirnya aku mengungkapkan ketidaknyamananku. Menurutku lebih baik dari sekarang aku tahu apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh Pak Hendra dengan kehadiranku, sehingga aku bisa mempertimbangkan berapa lama harus tinggal disini. Aku tak mau tanpa sadar malah jadi beban bagi orang lain. 

"Kamu enggak usah baper soal saya yang nunggu kamu." aku tertegun mendengar perkataannya yang sangat tepat dengan apa yang kurasakan saat ini, "besok saya mau nyari tukang kunci buat bikin duplikat kunci rumah. Jadi, kamu bisa pegang satu dan saya enggak perlu nunggu kamu pulang." katanya yang telah kembali dengan cangkir di tangannya. 

"Oke." aku tak tahu harus menjawab apa atas respon Pak Hendra, "mmm, saya mau pakai kamar mandinya, ya Pak." 

Dia mengangguk, "Mulai sekarang anggap aja ini kayak rumah kamu sendiri, jadi enggak perlu izin kalau mau pakai ruang atau peralatan disini kecuali kalau mau masuk ke kamar saya, harus bilang dulu. Kalau tiba-tiba masuk, nanti kamu kaget dengan apa yang ada didalam." ia menyeruput tehnya, "kalau bisa, sih tolong jaga juga barang-barang yang ada disini." 

"Iya, saya ngerti, Pak." lalu aku pergi menuju kamar mandi dengan membawa plastik putih berisi sepasang pakaian, dan peralatan mandi. 

***

Pak Hendra membawa koper yang dibawa oleh anak muridnya itu ke sisi kiri sofa supaya tidak menghalangi jalan. Ia menatap jam dinding yang terpasang di dinding--diatas televisi, pukul 11 lewat 20 menit. Kemudian, bergerak kembali ke dapur. Ia menyalakan kompor gas, yang diatasnya sudah ada panci yang yang tertutup. 

Sejam yang lalu, ia sempat memberhentikan tukang bakso yang kebetulan lewat di depan rumahnya. Beruntung, barang dagangannya belum habis sehingga dia bisa membeli dua porsi. Satu untuk dirinya dan satu untuk anak muridnya saat pulang. Sebenarnya, Pak Hendra berpikir untuk membeli makanan yang lebih sehat untuk anak muridnya karena sudah bekerja sangat keras tetapi tak bisa akibat uangnya yang menipis. 

5 menit kemudian, ia menuangkan bakso dari panci ke dalam mangkuk dan membawanya ke atas meja yang terletak di depan sofa. Ia melanjutkan lagi menikmati teh sambil menonton film Barat yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi. Tak lama, Anggun keluar dengan pakaian berbeda yang lebih santai dan rambut yang basah. Nampaknya, dia baru saja selesai keramas. Handuk disampirkan melingkari lehernya. Ia juga terlihat masih memegang plastik yang sama namun barang didalamnya terlihat berkurang. 

"Handuknya di gantung aja dulu di dalam kamar mandi, besok baru jemur di belakang." kata Pak Hendra. 

"Dibelakang?" tanya Anggun yang tak mengira kalau masih ada ruangan lain dari rumah minimalis ini. 

"Iya, dibelakang masih ada lahan. Masih tanah milik mendiang orangtua saya, sih. Tapi, lewat depan kalau mau kesana." 

"Oh gitu." Anggun menarik koper yang diletakkan diantara celah sofa dan memasukkan plastik ditangannya. Pak Hendra memerhatikan wajah anak muridnya yang terlihat lelah  dan mengantuk, namun dibandingkan ekspresi memprihatinkan itu, dia jadi mempertanyakan bagaimana dia bisa berkonsentrasi belajar dan kapan dia akan melakukan aktifitas utamanya itu jika kondisinya sudah kelelahan. 

"Kamu udah makan?" tanya Pak Hendra, yang menahan diri untuk tidak bertanya dulu mengenai rasa penasaran atas muridnya dalam membagi waktu. 

"Belum." 

Pak Hendra menggeser mangkuk didepannya yang ditutupi dengan piring berukuran sedang, "Tadi, saya beli bakso dan sengaja membelikan satu porsi ini buat kamu." 

"Harusnya Bapak enggak perlu sampai begini, saya jadi ngerasa udah ngerepotin Bapak lagi." 

"Jangan bilang begitu, saya beli ini bukan karena ngerasa direpotin. Udah baksonya dimakan, keburu dingin." 

Pak Hendra memerhatikan Anggun yang mulai membuka mangkuk bakso dihadapannya. Semakin lama diperhatikan, dia baru menyadari kalau postur Anggun termasuk sangat kurus untuk anak seumuran dengannya. Melihat keadaannya, ia jadi ragu kalau anak didiknya itu mengaku bisa bertanggungjawab atas dirinya sendiri. 

"Setelah ini, langsung tidur atau ada hal lain yang mau kamu lakuin, Nggun?" ia menahan diri untuk tidak secara langsung mengutarakan keingintahuannya tentang apakah setelah ini dia akan belajar atau langsung beristirahat. 

"Saya mau belajar sebentar buat besok, Pak sekalian ngecek ada tugas atau enggak." Anggun menjawab setelah berhasil mengunyah serta menelan bakso terbesarnya. 

"Hm, yakin masih sanggup buat belajar?" 

"Saya biasanya baru bisa ngelakuin itu jam 2 dini hari, karena sekarang pulangnya lebih awal jadi saya masih belum ngantuk." 

Pak Hendra menghela nafas kemudian menyandarkan punggungnya ke belakang. Diam-diam dia merasa puas dengan jawaban Anggung yang bisa mengurangi rasa ketidakpercayaannya. "Oke, tapi jangan sampai terlalu larut karena besok jam 6 kamu harus udah jalan." 

"Iya, saya tahu, Pak." Anggun meminum kuah bakso yang terasa sangat lezat dimulutnya, "Bapak sendiri kenapa masih belum beranjak dari sini? belum ngantuk?" 

"Setelah tehnya habis, saya baru masuk ke kamar." jawabnya. Tak ada lagi percakapan yang terdengar dari keduanya hingga teh Pak Hendra benar-benar habis. Laki-laki itu kemudian bergerak ke westafel untuk mencuci tehnya agar esok pagi tak lagi melihat ada peralatan makan yang kotor. "Tv-nya jangan lupa dimatiin, ya kalau udah enggak ditonton." ia mengingatkan. 

"Iya, Pak." 

Selepas, Pak Hendra masuk ke dalam kamarnya, Anggun bergerak menuju westafel untuk mencuci mangkuknya. Setelah selesai, ia juga mematikan televisi karena selain tak berminat menonton acara yang menurutnya tak seru tapi juga membutuhkan konsentrasi untuk belajar. 



Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang