XII

2.4K 108 0
                                    

Keesokan harinya, aku keluar dari kamar dengan membawa koper, ransel dan beberapa tas berukuran sedang berisi barang-barang pribadiku. Kuperhatikan seluruh ruangan dihadapanku untuk terakhir kalinya. Aku bergerak menuju kamar Ayah yang pintunya terbuka sedikit dan menampakkan dirinya yang sedang berbaring membelakangiku. Seketika, rasa kesal kembali menyeruak dalam batin saat ingat dengan semua perkataan dan permintaannya semalam. Aku pun bergerak menjauh dari kamar Ayah untuk menuju keluar.

Suasana di teras lantai empat masih lengang, karena jam yang masih menunjukkan pukul 5 pagi. Langit masih gelap tanpa bulan dan bintang yang menghiasi permukaannya. Aku terus berjalan turun hingga mencapai pelataran dasar rusun. Hingga, akhirnya aku duduk di sebuah bangku yang terbuat dari semen putih terletak di pinggir jalan besar. Terdiam cukup lama, serta membiarkan tubuhku yang sudah terbalut seragam ini tersentuh dengan semilir angin yang dingin.

Aku termenung dengan menatap jalanan yang masih kosong.

Mulai hari ini. . . aku benar-benar sendirian.

Ayah dan Ibu. . . dua orang yang telah membawaku ke dunia ini . . . sekarang, tak akan ada lagi sebutan itu di dalam hidupku. Mereka akan segera memiliki kehidupan baru dengan meninggalkan sebuah kenangan yang dulu sempat mereka banggakan kehadirannya. . . Aku.

Kutatap deretan koper beserta tas yang kubawa. Aku tak mungkin bisa membawa benda-benda itu ke sekolah karena akan menarik perhatian para siswa dan guru-guru disana, terutama Pak Hendra yang akan langsung menginterogasiku. Reflek, kedua tanganku terangkat meremas rambut yang telah terpilin ikatan dengan rapi. Kepalaku terasa sakit memikirkan bagaimana akan melalui hari ini hingga hari-hari berikutnya.

Tuhan . . . apa yang harus aku lakukan sekarang?

Langit semakin terang seiring matahari yang semakin meninggi. Aku sadar tak bisa berlama-lama disini kalau tidak mau terlambat datang ke sekolah, tapi disisi lain aku juga tidak bisa berlenggang hati membawa tas yang begitu banyak. Aku memikirkan pilihan tempat yang bisa digunakan untuk menitipkan benda-benda ini hingga jam sekolah usai. Mall? Tempat itu selalu menyediakan bagian penitipan, tapi . . . mall mana yang sudah buka di jam pagi seperti ini? Aku kembali berpikir dan teringat dengan satu tempat yang pasti bisa kudatangi. Restoran ! Disana selalu ada satu petugas yang berjaga sehingga aku bisa menitipkan koper dan tasku di ruang ganti sampai selesai bekerja.

Buru-buru aku membawa koper dan tas-tasku, dan berangkat menuju halte terdekat. Menaiki bus yang jalurnya melewati jalan besar di depan restoran. Sepanjang perjalana, aku berpikir mungkin restoran bukan hanya tempat yang tepat untuk menitipkan barang-barangku tetapi juga akan menjadi tempatku bernaung hingga aku mendapatkan tempat tinggal yang baru. Tapi, bagaimana caranya aku bisa mendapatkan ijin untuk tinggal disana? Mbak Sonia tentu tidak akan memberikan ijin dengan mudah. Aku menghela nafas panjang dan memutuskan berhenti memikirkannya. Yang terpenting sekarang adalah menitipkan sementara barang-barangku dan pergi ke sekolah dengan tepat waktu.

***

Aku bersyukur bisa sampai di dalam gedung sekolah sebelum bel masuk dibunyikan. Buru-buru kulangkahkan kakiku menuju kelas yang berada di lantai dua. Saat di dalam, aku melihat Jani sudah duduk rapi di tempat duduknya dan melemparkan senyum saat melihatku datang.

"Udah sembuh, Jan?" tanyaku sambil meletakkan ransel di atas bangku kemudian mendudukkan diri.

Jani memberikan anggukan, "Tumben lu sampainya siang? Biasanya lebih dulu dibanding gua, apa ada sesuatu yang terjadi di rumah?"

Aku terhenyak mendengar pertanyaannya. Perlukah aku menceritakan pada Jani kalau aku sudah tidak lagi tinggal di rumah Ayah sekarang? Namun belum sempat kujawab, Bu Kasih, guru Matematika kami sudah masuk ke dalam kelas. "Nanti gua ceritain, pas jam istirahat." Bisikku pada Jani yang masih menunggu jawabanku dengan raut khawatir.

Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang