XLIX

444 33 3
                                    

Adli terbangun ketika Meta menggoyang-goyangkan badannya pelan. Ia menggeliat sesaat sebelum akhirnya menarik tangan sang istri ke dalam pelukannya. Keningnya ia cium dengan penuh kasih sayang seraya mengucapkan selamat pagi.

"Buruan siap-siap, mas... Nanti terlambat berangkat ke kantor lho." Bujuk Meta.

"Emang udah jam berapa, sih?" tanya Adli sambil mengeratkan pelukannya.

"Jam 6, mas. Ayo buruan mandi."

"Waktu cepat banget, deh. Rasanya jam istirahatku semakin singkat."

Meta mengeratkan pelukannya, "Hmm, sabar ya sayang. Ayo semangat semangat. Aku belikan sarapan."

"Kamu mau beli apa?"

"Bubur mau?"

"Boleh."

"Ya udah, aku belikan bubur di depan apartemen. Kamu buruan mandi."

"Iya, sayang."

Kemudian Meta beringsut melepaskan diri dari pelukan sang suami. Perempuan itu melontarkan senyum manisnya sebelum pergi keluar. Adli masih terkulai lemas di atas tempat tidur. Laki-laki itu tak langsung bangun karena merasakan kesemutan di kaki kanannya. Selain itu kepalanya juga terasa pusing. Ia berpikir akan pergi ke kamar mandi setelah kondisi berangsur membaik.

1 menit kemudian, kesemutannya menghilang hanya tinggal pusing yang masih bersarang. Ia memaksakan diri bangun. Tubuhnya terasa lemas sekali. Membuatnya berpikir apakah sebaiknya ia libur bekerja hari ini? Ah tapi, ia sudah janji dengan temannya akan membantu menyelesaikan laporan yang belum sempat diselesaikan kemarin.

Kedua kaki ia jejakkan di atas lantai dan... bruk ! ia terjatuh dengan lutut menghantam lantai. Adli meringis kesakitan dibarengi rasa syok karena tiba-tiba kehilangan kendali atas kedua kakinya. Tangannya bergerak mengurut-urut lutut yang sakit kemudian memaksakan diri berdiri dan duduk kembalid di pinggir tempat tidur.

"Kenapa ini?" tanyanya dengan kebingungan, "...tadi, aku seperti enggak bisa ngerasain kakiku sendiri." Gumamnya masih dengan mengurut-urut kaki. Kemudian, digerak-gerakkan kembali. Ia berdiri dan kali ini tanpa jatuh.

Adli menarik nafas panjang. Seraya memejamkan ke dua mata, ia berusaha berpikir positif . "Mungkin, badanku hanya belum siap bangun. Iya, itu cuma reaksi yang biasa." Setelah merasa yakin, ia bergegas pergi ke luar.

***

Hendra dengan menaiki motornya telah tiba di depan garasi sekolah. Sebelum masuk ke area parkir, ia mengobrol sebentar dengan satpam yang dengan ramah menyapa kedatangannya. Beberapa murid yang juga baru datang dan melihat kehadiran Hendra pun menghampiri dan menyalimi dirinya. Ketika akan mengakhiri perbincangannya dengan pak satpam, tiba-tiba dari arah luar ada yang memanggil namanya dengan keras. Ia menoleh dan menghela nafas panjang begitu melihat Gendhis berdiri di samping mobilnya. Ada yang berbeda dari raut wajahnya. Perempuan yang selalu mengejar-ngejarnya itu terlihat marah. Hendra pun membuat dugaan kalau Gendhis sudah tahu kalau dirinya telah mengadukan perbutannya pada sang ayah.

"Pak, bisa minta tolong?" Hendra menatap sang satpam yang juga mendengar teriakan Gendhis.

"Boleh, Pak mau minta tolong apa?"

"Tolong parkirkan motor saya, ya Pak. Saya mau ketemu teman dulu." Katanya dengan sopan.

"Oh iya boleh, Pak." Balas sang satpam yang kemudian menerima penyerahan motor tersebut. Sang pemilik kemudian berjalan menghampiri Gendhis.

"Ada apa lagi sih, pagi-pagi udah ke sini?"

PLAK !

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Hendra. Tatap Gendhis terlihat buas dari dekat.

Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang