XVI

1.9K 95 0
                                    

Aku berhasil sampai di restoran sebelum pukul 7 dan melihat Mbak Sonia yang sedang berada di belakang meja bersama sang kasir. Ia tersenyum melihatku dan memberi isyarat supaya aku buru-buru berganti pakaian dan membantu pelayan lain. Suasana restoran masih sama seperti hari-hari sebelumnya, seluruh meja terisi dan terdengar beberapa kali pengunjung memanggil pelayan untuk memesan menu. Aku bergegas masuk ke dalam ruang ganti dan keluar lagi dalam waktu 10 menit.Aku berbaur di dalam dapur karena berpikir bisa membawakan piring-piring yang belum sempat diantar pada para pengunjung di luar.

"Eh, Anggun," Sapa Kenny, salah satu yang juga bekerja sebagai pelayan, "tumben baru datang? Ada penambahan jam belajar, ya?"

Aku menggeleng, "Ada urusan yang lain, Kak jadi terpaksa agak malam datangnya." Jawabku pada lelaki berumur 19 tahun itu, yang kini sedang menempuh pendidikan di sekolah tinggi negeri dengan mengambil jurusan hukum.

"Ooh." Tanggapnya yang kemudian pergi dengan membawa nampan berisi tiga piring.

"Ini pesanan untuk meja nomor berapa?" tanyaku pada salah satu chef di dapur, Kak Bobby.

"Nomor 10, tolong kamu antar semua piring-piring ini kesana, ya." Jawabnya.

"Banyak banget, untung besar lagi dong kita hari ini." Kataku penuh semangat karena membayangkan bonus yang kuterima nantinya.

"Udah, buruan anter. Kalau kelamaan pengunjungnya keburu komplain."Kak Bobby memperingati.

Tanpa menunggu perintah kedua kali, aku bergegas mengambil satu nampan dan menempatkan gelas-gelas diatasnya. Dengan hati-hati aku keluar dari dapur dan berjalan menuju meja nomor 10. "Ini pesanannya, maaf menunggu." Kataku.

"Mbak, saya ada tambahan pesanan ya, air mineral. Enggak dingin." Kata seorang perempuan yang duduk disisi kiri, dekat dengan tempatku berdiri. Aku menatap perempuan itu dan tercengang melihatnya. Perempuan itu adalah ibuku. Mataku menyisir tiap orang yang duduk satu meja dengannya. Aku semakin terkejut ketika melihat ada nenek, kakek, bibi, kekasih Ibu dan beberapa orang yang tak kukenal. Astaga, dari sekian tempat kenapa mereka harus mengadakan pertemuan di restoran ini?

"Mbak, kok diem aja." Aku memandangi ibuku yang fokusnya masih pada buku menu, menatapi berbagai jenis minuman disana. Karena aku tak kunjung menjawab, ibuku akhirnya mengangkat kepalanya. Seketika kedua matanya melebar saat tahu aku berdiri disampingnya. Ia sempat terdiam lama. Kerabat Ibu termasuk Kakek, Nenek dan kekasihnya yang mengetahui tentang diriku ikut tercengang.

"Akan saya bawakan, apa ada lagi pesanan lainnya, Bu?" tanyaku yang telah berhasil menguasai diri meskipun tanganku sedikit gemetar akibat syok melihat kemunculan ibu.

"Enggak ada." Jawabnya, "tolong percepat menu yang kami pesan."

"Baik." Buru-buru aku pergi dari sanadan kembali masuk ke dapur. Aku berpegangan pada pinggiran meja penyaji makanan.

"Nggun, kamu kenapa?" tanya Kak Gio yang juga baru selesai mengantar makanan untuk pengunjung, "sakit?"

Aku memaksakan diri untuk menggeleng, dan menguatkan diri untuk kembali berdiri tegak."Enggak apa-apa, Kak."

"Tapi, muka kamu kok agak pucet gitu. Enggak istirahat dulu aja, di ruang ganti?" tanyanya lagi.

"Kenapa, Gi?" Kak Choki yang juga baru selesai mengantar makanan tertarik melihat raut khawatir dari Kak Gio. Disebelahnya berdiri Kak Citra dan Kak Mega.

"Nggun, muka kamu pucet."Kak Citra maju untuk melihat keadaanku.

"Iya, kan, pucet. .tadi, aku suruh dia buat istirahat dulu." Susul Kak Gio.

Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang