Pintu gerbang kos sudah terlihat. Aku mempercepat langkah karena khawatir melewati jam malam yang ditentukan bu Tantri. Saat akan membuka pintu gerbang, aku mendapati sorot lampu yang menyilaukan dari sisi kanan yang sengaja di arahkan padaku. Seorang perempuan keluar dari mobil yang dari bentuknya sangat kukenal. Aku semakin yakin ketika wajah sang pemilik mobil semakin terlihat jelas. Gendhis.
'Mau apa lagi dia ke sini? Ngancem lagi?' pikirku seraya memainkan ponsel karena adanya pesan yang masuk. Kumasukkan kembali benda mungil itu ke dalam saku celana saat jarak Gendhis semakin mendekat, "Ada apa ya, kak?" tanyaku seraya memancarkan raut wajah tak suka dengan kehadirannya.
"Kita perlu bicara." Katanya tak kalah ketus.
"Silakan."
"Di mobil."
"Maaf, di sini aja. Aku enggak punya banyak waktu karena harus segera masuk ke dalam."
Sorot mata Gendhis menandakan tak terima karena perintahnya ku tolak. Meski ekspresi wajahnya kembali terlihat menyeramkan namun aku tak merasa gentar untuk melawannya kali ini. Dia sudah menciptakan banyak masalah denganku belakangan ini.
"Lu kayaknya enggak mikirin tindakan lu, ya? atau lu anggap omongan gue yang kemarin itu hanya main-main?" ujarnya.
"Tindakan apa yang harus aku pikirkan, kak? Aku enggak ngerti kalau kakak enggak bicara yang jelas."
"Lu pikir gue enggak tahu kalau lu masih aja berusaha mendekati Hendra, sampai-sampai dia mau mengantar lu ke sini?"
"Dia mengantarku karena ingin memastikan muridnya pulang dengan aman. Itu tugasnya sebagai wali kelasku." Aku masih bicara dengan tenang.
"Itu !" Gendhis mengacungkan jari telunjuknya ke arah wajahku dengan bengis, "...lu sengaja menciptakan keadaan supaya Hendra memberikan perhatiannya. Lu manfaatkan posisi dia sebagai wali kelas, ya kan? Tindakan lu itu benar-benar buat gue jijik."
"Sengaja menciptakan keadaan?" emosiku mulai meluap, "kakak ini cuma orang luar yang tiba-tiba datang dan bikin masalah, jangan menuduh yang enggak-enggak tanpa bukti. Kakak emang tahu apa yang terjadi sebenarnya? Aku yakin 100% enggak, selain kakak yang asyik sendiri menciptakan khayalan supaya bisa menyalahkan semua orang karena keinginan kakak enggak kunjung tercapai. Manusia halu karena enggak bisa mendapatkan apa yang diinginkan!" aku mulai tak bisa mengontrol emosi.
"Heh ! Jaga omongan lu ya !" Ia kembali mengacungkan telunjuknya, "gue bukan halu, dan gue punya bukti rekaman lu diantar dan jemput sama Hendra. Gue bakal sebar informasi lu yang tinggal di rumah Hendra sama pihak sekolah lu biar lu dikeluarin. Gue akan bilang lu berusaha menggoda guru lu sendiri."
"Silakan." Aku menantang, "kita lihat apakah orang-orang akan lebih percaya kakak atau sebaliknya? Kakak mau sebar rekaman apa? Terserah... kalau ujungnya aku dikeluarkan, bukan jadi masalah besar buatku. Seandainya Pak Hendra juga dikeluarkan pun, aku yakin Pak Hendra bisa menata hidupnya jadi lebih baik lagi dibanding kakak yang lari ke sana sini, dan melakukan ancaman seperti ini."
"Lu ! Berani-beraninya, ya lu ngomong begitu." Gendhis semakin marah.
"Kenapa? Apa cuma kakak di sini yang boleh mengancam?" aku masih berusaha tenang.
"Sekarang lu berani melawan gue, ya? kita lihat siapa yang akan jatuh nanti. Jangan sampai lu menyesal sama omongan lu hari ini. Gue enggak akan ngasih lu kesempatan kedua bahkan kalau lu minta maaf setelah ini."
"Aku enggak akan minta maaf untuk apapun." Kataku lagi.
"Gue akan pastikan hidup lu hancur setelah ini." ancamnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...