Hari ini aku berangkat sekolah dengan kedua mata sembab. Seharian aku hanya murung di dalam kelas, seorang diri karena Jani tak masuk dan tak memberikan kabar padaku seperti biasanya. Aku merasa pusing memikirkan harus mencari tempat tinggal baru secepatnya karena semalam Ayah juga sudah mengultimatum aku harus pergi satu minggu lagi. Alasannya, karena perempuan bernama Meta itu akan segera pindah ke rusun Ayah.
Bel pulang yang kutunggu-tunggu akhirnya berbunyi. Setelah guru pelajaran terakhir keluar ruangan aku buru-buru memanggul ransel dan pergi keluar dari kelas. Dalam perjalanan aku berpapasan dengan Pak Hendra yang juga baru selesai mengajar dari kelas sepuluh."Oh, Nggun? Gimana keadaan kamu, merasa lebih baik? Obatnya masih rutin diminum?" tanyanya.
Aku mengangguk dan tersenyum dengan rasa syukur karena masih ada orang yang peduli dengan keadaanku, "Masih. Oh iya, Pak . . . saya mau tanya, kalau boleh tahu Jani kenapa enggak masuk, ya Pak? Apa dia mengabari Bapak?" tanyaku lagi.
"Dia mengabari kalau hari ini lagi kurang sehat." Jawab Pak Hendra.
"Oh gitu. Dia enggak bilang sakit apa, Pak?" tanyaku lagi.
"Katanya sih demam dan pusing. Oh iya, gimana hubungan kamu sama Ayah kamu? Baik-baik aja, kan setelah kejadian kemarin malam?"
"Iya, baik-baik aja. Kami biasa enggak mempermasalahkan masalah yang sama terlalu lama. Biasanya menguap begitu aja." Jawabku berusaha untuk tak membuat wali kelasku itu khawatir. Aku merasa tidak enak sudah banyak merepotkan dan melibatkannya dalam urusan pribadiku. "Saya pamit pulang duluan, Pak."
"Pulang apa mau nerusin kerja di resto?" tanya Pak Hendra bermaksud menyindir.
Aku memberikan senyuman salah tingkah, "Itu rumah kedua saya, jadi benar dong kalau saya bilang pamit pulang." Aku sedikit terkekeh.
Pak Hendra memberikan anggukan, "Ya, hati-hati." Lalu pergi meninggalkanku.
Terpikir olehku untuk menghubungi Jani secara langsung ketika aku sudah sampai di luar gerbang sekolah.
"Halo, Nggun?" terdengar sapaan lemah dari Jani. Nampaknya penyakitnya benar-benar parah.
"Halo, Jani. Gimana keadaan lu? gua dengar dari Pak Hendra lu sakit. Sakit apa?"
"Hmm, udah mendingan. Gua pusing banget tadi pagi, terus kata dokter keluarga nyuruh gua buat istirahat sehari." Jawab Jani.
"Pusing kenapa?" tanyaku lagi.
"Anemia gua kambuh lagi. Jadi, diminta buat istirahat sampai tekanan darahnya normal."
"Ya ampun, gua datang ke rumah lu, ya?" pintaku karena ingin melihat kondisinya.
"Enggak usah, Nggun. Bukan sakit serius, kok. Besok gua udah masuk sekolah. Lu sendiri gimana? Udah sehat?" tanyanya.
"Udah, makanya gua masuk sekolah hari ini dan heran pas tahu lu enggak masuk tapi enggak ngabarin gua."
Jani terkekeh pelan, "Lu kangen ya karena gua tiba-tiba enggak masuk dan enggak ngasih kabar ke lu?"
"Iya, kita kan udah lama enggak ketemu semenjak gua sakit. Gua juga khawatir lu sakit yang parah atau apa..."
Jani tertawa mendengar pengakuanku, "Gua enggak apa-apa, kok beneran.
"Hmm, ya udah. . . gua tutup teleponnya, ya. Mau buru-buru ke resto. Semoga cepat sehat lagi dan masuk ke sekolah." Cukup lama jeda diantara kami setelah aku berbicara. "Jani?"
"Hmm, iya. Sampai ketemu besok. Kerjanya jangan giat-giat, ingat kesehatan." Ia mengingatkan.
"Oke." Lalu aku menutup perbincangan dan melanjutkan perjalanan menuju restoran dengan berlari karena takut terlambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...