Aku berdiri diam di depan pintu kamar. Tangan kanan telah siap menurunkan gagang pintu, namun berbanding terbalik dengan hatiku yang sedikit takut menghadapi pertanyaan demi pertanyaan yang nantinya akan diberikan oleh Pak Hendra. Mungkinkah ia akan meluapkan kemarahannya padaku karena sikap lancang meninggalkan rumah dan membolos sekolah tanpa mengatakan apapun padanya? Bagaimana pun, aku sadar tindakanku sudah termasuk keterlaluan pada orang yang bahkan sudah sangat baik mengizinkanku tinggal di rumahnya dengan gratis.
Kuhela nafas panjang kemudian menariknya lagi dalam-dalam. Genggaman tangan pada gagang pintu semakin kueratkan namun belum juga bergerak membukakan pintu di hadapan. Kusiapkan mental untuk menerima apapun sikap Pak Hendra di luar sana nantinya. Perlahan, gagang pintu kuturunkan—denyitnya membuat detak jantungku memacu agak cepat. Aku keluar dengan kepala tertunduk, tak kuat jika harus langsung melihat sang pemilik rumah—yang mungkin langsung memandangiku begitu denyit pintu kamar terdengar.
Aku berjalan ke arahnya dengan penuh rasa bersalah. Saat sudah sangat dekat dengan sofa, tempatnya duduk, baru aku berani mengangkat sedikit kepala untuk mencari wajahnya.
"Sini duduk." Suruhnya sambil menepuk bagian kosong sofa di sampingnya. Suaranya terdengar tegas, seperti saat ia memberikan sesi konsultasi di sekolah. Aku berjalan mendekat dan melakukan apa yang disuruhnya. Kedua tanganku tergenggam erat di atas paha yang terbalut celana training panjang berwarna hitam. Kulihat tubuh Pak Hendra dicondongkan ke arah meja dan menarik secangkir minuman yang ditutupi penutupnya. Menggesernya hingga ke arahku.
"Minum dulu tehnya mumpung masih hangat. Supaya kamu enggak kena flu." Katanya. Telapak kanannya bergerak mempersilakanku untuk mencecap minuman tersebut. Rasa bersalah semakin menumpuk saat tahu kebaikan yang ditunjukkan oleh wali kelasku itu. Padahal, sah-sah saja kalau ia langsung memarahiku tanpa harus repot menyuguhkan apapun.
Suara menyeruput minuman dari bibirku mengisi keheningan di antara kami. Aku tahu meski Pak Hendra tak mengatakan apapun namun ia tak sekalipun melepas pandangannya dariku, tatapannya penuh tuntutan yang sengaja ditahannya hingga aku selesai meminum teh manis hangat buatannya.
Kuletakkan cangkir di tangan dengan hati-hati di atas meja. Aku masih berusaha tidak ingin menatap langsung wajahnya karena merasa canggung, bingung dan bersalah.
"Kamu udah siap buat cerita apa saja yang kamu lakukan hari ini?" tanya Pak Hendra.
Aku memberikan anggukan pelan.
"Kamu benar enggak apa-apa? Enggak ada yang terluka?"
Kujawab dengan gelengan kepala.
Ia menjeda sejenak dengan memandangiku seolah memastikan pengakuanku bukan sebuah kebohongan, "Jadi... kemana saja kamu hari ini?"
"Saya pergi ke pantai."
"Pantai? Kenapa kamu ke sana? Apa ada orang yang kamu temui?"
Aku menggeleng, "Enggak ada, Pak. Saya cuma... tiba-tiba pengen ke sana aja. Saya sengaja diam-diam berangkat sebelum Pak Hendra bangun."
"Kenapa kamu bertindak begitu? Kamu tahu itu salah dan enggak sopan, kan?" tegurnya tanpa menaikkan nada.
"Iya, saya tahu... saya minta maaf."
"Untuk saat ini kalau hanya dengan mengucap 'maaf' masih belum cukup, kamu harus jelaskan kenapa pergi begitu saja dan bikin saya sebagai wali kelas kamu khawatir. Kamu tahu, hari ini bahkan saya harus menyampaikan kebohongan supaya guru-guru lain enggak curiga sama kamu yang tiba-tiba bolos tanpa kabar. Kamu tahu tindakan seperti itu bisa menyulitkan kamu dan memengaruhi nilai moral kamu di mata para guru?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...