Keesokan paginya, aku memilih berangkat duluan karena tidak mau mendengar berbagai pembicaraan di sekolah akibat aku yang lagi-lagi bareng dengan Pak Hendra. Sebelum, berangkat aku menyampaikan kekhawatiranku itu supaya Pak Hendra tak salah paham dan beruntung ia mengerti.
Daerah tempat tinggal Pak Hendra begitu sepi penduduk. Rumah-rumah tetangga bisa dihitung dengan jari dan jaraknya pun tidak saling berdekatan. Aku perlu berjalan kaki sekitar 5 menit untuk menuju jalan besar kemudian menaiki bus berwarna biru sesuai arahan Pak Hendra yang akan menurunkanku tepat di depan gerbang gedung sekolah.
Aku cukup senang ketika ternyata perjalanan menggunakan bus ini hanya memakan waktu sekitar 20 menit. Pak Hendra memang sudah menghimbau agar aku berangkat tepat pukul 6 jika tidak mau terjebak macet. Aku turun dengan perasaan lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya. Untuk sementara ini, aku tak lagi harus memikirkan tentang tempat tinggal dan hanya perlu bilang ke Mbak Sonia soal pengurangan jam kerjaku. Semoga saja dia bisa mengerti. Lalu, sebagai ganti pengurangan jam aku akan minta dia menerimaku bekerja di hari weekend.
Sebuah ingatan tiba-tiba terlintas dalam pikiranku, yang membuatku berhenti melangkah ke dalam kelas. Aku menepuk jidat karena lupa kalau sabtu dan minggu masih kerja di minimarket! Apa sebaiknya, aku berhenti saja dari sana, ya? Selain tempatnya yang akan mengingatkanku dengan tempat tinggal Ayah, gajinya juga tidak terlalu besar dibanding jika aku bekerja di restoran. Nampaknya, sehabis bicara dengan Mbak Sonia aku perlu menghubungi Pak Djanuar untuk pengunduran diriku.
"Anggun !" Aku berhenti berpikir saat melihat teman sebangkuku sedang tersenyum ke arahku. Tumben sekali Jani, bisa datang sepagi ini atau . . . memang dia mulai datang pagi ketika kemarin-kemarin aku datang siang?
"Tumben, hari ini enggak siang?" tanya Jani lagi. Aku hanya bisa tersenyum dan duduk disampingnya. "Eh, kemarin gua dapet kos-kosan yang lumayan bagus, lho buat lu." sambungnya lagi.
"Dimana?"
"Didekat sini. Lu tahu kan di sebelah kiri gedung sekolah ada gang yang muat satu mobil, gua iseng masuk ke sana sama sopir. Kali aja ada kos-kosan, dan ternyata benar ada. Gua masuk dan tanya-tanya sama pemiliknya, jadi disana satu kamar ukurannya 5 kali 4 meter. Kamar mandi di dalam, jadi lu enggak perlu repot ngantri terus dipasang AC pula. Pluss, ada wifinya dan bonus satu tv. Lu tinggal nyiapin lemari, tempat tidur atau barang-barang pribadi lainnya." Jani menceritakan penemuannya dengan mata berbinar dan suara penuh semangat."
Aku tercengang mendengar kemewahan yang diceritakan oleh sahabatku itu. Apa dia tidak mengerti aku hanya butuh kamar bukan fasilitias seperti mini hotel, lagipula berapa biaya yang harus aku bayarkan untuk semua fasilitas seperti itu. "Lu tanya enggak harganya berapa?"
"Murah, kok. Sebulan Rp 1 juta." jawab Jani dengan entengnya.
Aku hanya bisa mendengus dengan kepolosannya. Apa dia pikir aku ini seperti anak sekolah dengan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang? Gajiku sendiri cuma satu juta tujuh ratus lima puluh ribu. Kalau dipotong satu juta untuk bayar kos, aku mungkin tidak bisa hidup selama satu bulan. "Kemahalan, Jan." komentarku.
"Ih, itu termasuk murah Nggun dengan segala fasilitas yang dikasih. Gua sempat tanya-tanya sama penghuni kos yang kebetulan mau masuk, katanya keamanan disana terjamin terus jarang mati listrik ataupun kekurangan air."
"Iya, kalau dibandingin sama fasilitasnya, sih mungkin terhitung murah tapi kalau disandingin sama gaji gua sebulan, enggak akan bisa menutup kebutuhan sehari-hari gua, Jan." aku memberinya pengertian.
Kulihat raut Jani berubah. Nampaknya, dia baru sadar kalau aku tidak memiliki banyak uang. "Sorry, gua enggak sadar sama kenyataan itu. . . yang gua pikirin cuma fasilitas yang terbaik dan keamanan buat lu."
![](https://img.wattpad.com/cover/122249714-288-k947570.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...