LIV

345 23 1
                                    

Di rumah sakit, Ica sedang menunggu giliran konsultasi dengan dokter. Ia datang sendirian karena Darwis harus menghadiri rapat penting di kantor relasinya. Sambil menunggu, Ica membaca-baca artikel mengenai pengobatan alami untuk kista. Beberapa artikel ada yang sudah ia simpan dan berniat untuk mengkonsultasikannya dengan dokter. Perempuan itu sangat menginginkan kesembuhan agar tak mengecewakan harapan suami serta ibu mertua yang sudah baik dan menerima dirinya.

Pasien yang sudah berada hampir 30 menit di dalam ruang dokter akhirnya keluar, dan kini giliran Ica yang dipanggil masuk ke dalam. Dengan harap-harap cemas, Ica mulai berkonsultasi. Kemudian sang dokter meminta pasiennya itu berbaring untuk diperiksa.

Sambil melakukan pemeriksaan sang dokter melakukan anamnesis. Mendengarkan keluhan-keluhan Ica dan suster disampingnya mencatat.

"Saya menyarankan besok ibu datang lagi ke sini untuk melakukan CT scan untuk melihat perkembangan."

"Baik, dok."

"Puasanya 8 jam, ya Bu. ke sini jam 10."

"Baik, saya akan lakukan." Lalu Ica mulai berkonsultasi mengenai pengobatan herbal yang ia dapatkan di internet. Ia meminta pendapat apakah ia juga bisa melakukan hal itu selama menjalani pengobatan dari dokter.

Sang dokter memilah mana yang boleh dan tidak, "di luar obat-obatan ini, pastikan untuk rutin minum air putih ya, Bu. minimal 2 liter sehari."

"Baik, dok. Terima kasih, kalau begitu besok saya akan datang lagi."

"Iya, hati-hati di jalan."

Ica pun keluar dari ruangan dokter dengan perasaan sedikit lega. Di saat seperti ini sudah sepatutnya ia bersikap tenang agar kondisi psikologis juga tak menurun seperti fisiknya.

Ketika akan mencapai pintu keluar, tanpa sengaja ia berpapasan dengan satu sosok perempuan yang amat dikenalnya. Sosok dihadapannya juga membeku seraya memandangi dirinya. Ica terlihat salah tingkah dan ingin segera bergegas melewati perempuan muda yang sebenarnya adalah Anggun.

"O-halo..."Ica memaksakan diri untuk tersenyum seramah mungkin dengan lawan bicaranya.

Anggun mengangguk dengan kedua bola mata bergetar akibat masih kaget serta canggung, "Anda abis dari dalam?"

"Iya." Jawab Ica tak kalah canggungnya, "...kalau begitu saya pergi dulu." ia hendak berjalan melewati mantan putrinya itu.

"Mm, maaf..." perkataan Anggun secara otomatis menghentikan langkah Ica, "tapi...apa ada yang sedang dirawat di sini?" tidak bisa berbohong, Anggun merasa sangat penasaran dengan alasan keberadaan mantan ibunya di rumah sakit.

"Oh-enggak, cuma ada konsultasi rutin."

"Konsultasi rutin? Apa anda yang sedang sakit?"

"Mohon jangan salah mengerti, saya hanya konsultasi mengenai rencana kehamilan." Ica berbohong.

"O-oh." Anggun mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia merasa semakin canggung ketika mendapati jawaban yang sebenarnya.

"Saya pergi dulu, ya."

"Ya, hati-hati di jalan."

Ica memberi senyum terakhir sebelum akhirnya benar-benar berlalu pergi. Anggun pun kembali dalam langkahnya menuju ruang perawatan Pak Hendra.

Hari ini, Anggun mendapatkan izin untuk tidak bekerja di restoran setelah menyampaikan jika dirinya dihubungi oleh kepolisian untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Mbak Sonia sempat mengingatkan agar Anggun tidak tegang dan menyampaikan semua hal apa adanya agar proses penyelidikan berjalan dengan baik. Managernya bahkan membekali Anggun beberapa makanan dari restoran untuk memberinya tenaga kalau-kalau waktu pemeriksaan berjalan lama.

Setelah mendapat izin, Anggun menyempatkan diri mengunjungi Pak Hendra sebelum pergi ke tempat tujuan utama. Dalam hatinya, ia merasa lega karena orang yang saat ini menjaga adalah Kenji, sementara Pak Kepsek meminta izin pulang untuk membersihkan diri dan mengerjakan beberapa urusan yang berkaitan dengan sekolah yang sempat tertunda. Anggun tahu semua itu dari Kenji yang menghubunginya tepat ketika ia akan melangkah keluar dari restoran.

"Kenji..." panggil Anggun yang melihat teman satu kosnya itu sedang duduk terkantuk-kantuk di samping ranjang Pak Hendra yang masih belum sadarkan diri.

Kenji mengangkat kepalanya, "Oi, Nggun..."

"Capek, ya?" tanya Anggun sambil memijat-mijat bahu temannya itu.

"Enggak, cuma ngantuk. Enggak ada hiburan soalnya di sini." Kenji berdiri dari tempat duduknya, "Lu duduk sini, deh. Gue mau ke kamar mandi dulu, mau cuci muka."

"Oke."

Anggun meletakkan kotak makan yang dibawanya sejak tadi di atas meja, kemudian duduk mensejajarkan diri dengan kepala Pak Hendra.

"Hari ini, saya ditelepon kantor polisi, Pak buat dimintai keterangan soal kasus Bapak." Anggun mulai bercerita. "Saya jadi makin enggak enak sama Mbak Sonia karena harus izin lagi dari jam kerja. Udah gitu saya enggak bilang lagi, kalau mau mampir ke sini dulu bukannya langsung ke kantor polisi." Anggun menjeda sejenak, "...saya akan bicara apa adanya termasuk apa aja yang udah Gendhis lakuin ke Bapak dan saya selama ini. Mungkin, ini saatnya buat ngasih pelajaran ke Gendhis supaya dia sadar sama kesalahannya." Dengan ragu-ragu, Anggun menumpukan tangannya di atas tangan kiri Pak Hendra, "ngomong-ngomong, Bapak enggak bosan apa tidur terus? Saya kan juga mau denger kejadian yang sebenarnya, Pak sekaligus... mau minta maaf, karena saya merasa kejadian buruk yang menimpa Bapak kemarin, ada sangkut pautnya sama saya." Anggun terdiam lagi dan memerhatikan wajah sang guru, berharap akan ada ekspresi yang menunjukkan kalau Hendra mendengarkan ceritanya.

"Seandainya aja dari awal Bapak enggak terlalu show off atau overprotektif ke saya, mungkin Gendhis enggak akan melakukan hal sampai sejauh ini, yaaa meskipun dia tetep usaha ngejar dan nempel Bapak terus, sih." Ia menarik tangannya dan berganti posisi dengan menegakkannya sebagai tumpuan dagu. "Tapi...dari awal Bapak juga udah salah, sih... bisa-bisanya sempat jatuh cinta sama perempuan yang nyeremin gitu. Kira-kira gaya pacaran kalian tuh dulu, gimana ya? Kalau ceweknya agresif banget gitu..." tiba-tiba Anggun menampilkan wajah menyeringainya, "enggak mungkin kayak pasangan baik-baik, kan ya? Ala-ala bule, gitu?" ia tertawa kecil, "saya becanda, Pak.. mudah-mudahan enggak dengar, ya. Karena saya malas aja sih, kalau Bapak bangun malah dimulai dengan marah-marah ke saya."

Anggun melihat jam pada layar ponselnya, "Sebentar lagi saya pergi, Pak. Takut pak polisinya udah nunggu-nunggu saya. Sebenarnya kepikiran buat nge-PHP-in, sih dan milih jaga Bapak di sini, tapi saya takut kalau nanti ditangkap karena dituduh main-main sama aparat."

Tak lama Kenji kembali dari kamar mandi, dengan rambut yang agak basah dan kondisi wajah yang lebih segar. "Kenji, gue pamit ya... mau lanjut ke kantor polisi, takutnya udah ditungguin." Anggun beranjak dari kursi besinya.

"Oh, oke. Kalau pemeriksaan gitu lama, enggak sih?"

Anggun mengendikkan bahunya, "Enggak tahu. Tergantung seberapa tinggi level kekepoan polisi yang periksa gue nanti. Doakan aja, semua lancar ya, dan Gendhis bisa membayar semua perbuatannya di penjara."

"Oke, hati-hati selama di sana dan perjalanan ya, Nggun. Jangan bikin polisinya kesal dengan nada dan muka datar lu. Ntar polisinya baper, yang ada malah lu yang ditangkap."

"Kalau itu, kan udah jadi kebiasaan. Tapi, gue usahain buat lebih ekspresif. Oh iya, di meja ada makanan, dibawain sama manager resto gue. Tadinya buat bekal, tapi kayaknya lu lebih butuh itu. Kalau gue, bisa makan nanti setelah pemeriksaan selesai."

"Tapi, lu udah sempat makan sebelum ke sini?"

"Udah." Tentu saja Anggun berbohong. "Gue berangkat. Kabari gue kalau ada perkembangan baru soal kondisi Pak Hendra."

"Oke."

Sepeninggal Anggun, Kenji tak langsung duduk di kursi karena merasa pinggangnya pegal karena terlalu lama duduk. Sebagai gantinya, ia merenggangkan tubuh dan melakukan push up. Tak memakan waktu lama, perhatiannya teralihkan dengan makanan yang disebut-sebut oleh Anggun beberapa saat lalu. Ia tergoda untuk memakan apapun yang ada di dalamnya.

Alone (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang