Kurapikan dress hitam selutut yang telah kusiapkan dari kemarin malam untuk dikenakan dalam menghadiri pernikahan Ayah dengan istrinya yang baru, Meta. Beruntung, Mbak Sonia menunjukkan kebaikan hatinya dengan mengizinkanku pulang sore hari sehingga aku memiliki kesempatan untuk datang ke acara pernikahan Ayah lebih awal. Meskipun hati kesal setengah mati dengan kenyataan telah resminya hubungan dua orang dewasa itu, tentu saja aku tetap tak kehilangan sopan santunku untuk datang dan sekedar mengucapkan selamat. Apalagi sang calon istri menyerahkan langsung undangannya padaku saat berkunjung ke restoran beberapa hari lalu.
'Tok tok tok."
Aku yang sudah rapi sepenuhnya segera bergerak membuka pintu. "Kenapa, Pak?" tanyaku mendapati Pak Hendra juga sudah sama rapinya denganku meski tidak seformal pakaianku.
"Wow, kamu mau kemana dengan pakaian pesta begitu?" ia terlihat terkesima.
"Saya mau datang ke acara pernikahan Ayah dan istri barunya."
"Oh ! Hari ini acaranya? Kok kamu enggak bilang-bilang dari kemarin."
"Mm, karena saya pikir acara ini enggak ada hubungannya sama Bapak, makanya saya enggak bilang." Kataku seadanya, "Bapak sendiri mau pergi?"
Ia mengangguk, "Saya niatnya mau ke mall buat makan malam disana, dan mau ngajak kamu. Eh, ternyata kamu punya acara sendiri. Oh iya, kamu ke sana sama siapa atau naik apa?"
"Sendirian—mungkin naik taksi, kalau angkutan umum. . ." aku melirik pada pakaianku sendiri, "rasa-rasanya, pakaian saya bisa menarik perhatian penumpang lain."
"Oh. Oke . . . Kalau begitu, saya pergi makan sendiri, deh." Kini pria itu terlihat kecewa.
Karena merasa iba, terlintas sebuah ide di kepalaku, "Kenapa Bapak enggak ikut saya aja? Di sana bisa makan dan gratis." Aku menawari. Mungkin ada bagusnya juga mengajak wali kelasku itu kali ini, selain mengurangi rasa canggung di acara yang hanya mewakili kebahagiaan Ayah tapi aku juga punya teman mengobrol saat merasa terasingkan.
"Emang boleh, orang yang enggak diundang datang kesana?" tanyanya.
"Dicoba aja, siapa tahu bisa masuk." Jawabku, meski aku sudah tahu kalau dia tentu saja bisa masuk karena nama yang tercantum pada kartu undanganku bukan hanya tertera namaku saja.
"Kalau enggak boleh, enggak enak di saya dong, pulang dengan tangan hampa."
"Kalau Bapak enggak boleh masuk, saya akan masuk dan ngasih selamat sebentar terus kita pergi makan bareng. Saya yang traktir buat nebus waktu Bapak yang terbuang. Gimana?" aku masih tak mau mengatakan hal yang sebenarnya.
Tiba-tiba dia memberikan senyuman yang menurutku menjengkelkan. Seperti senyuman licik. "Oke ! Tapi, kalau saya ikut, kita naik motor aja, ya."
Buru-buru aku menggeleng, "Kalau itu saya enggak mau, bisa-bisa pakaian saya kusut dan rambut jadi rusak. Kita naik taksi aja."
Pak Hendra mencebik, "Sombong banget, sih mentang-mentang udah rapi kayak 'princess' langsung nolak diajak naik motor."
Aku mengendikkan bahu, "Wajar aja, kan?"
"Ya udah, kalau gitu Bapak ganti baju lagi. . . enggak cocok banget, yang perempuan resmi tapi saya kayak mau main."
Aku mengangguk, "Jangan lama-lama, ya Pak."
"Oke." Dia pun kembali masuk ke dalam kamarnya. Aku beralih merapikan isi tas kemudian mengunci kamar dan menunggu di ruang tivi. Dalam diam, aku menduga-duga orang-orang yang akan datang. Apa yang harus kulakukan atau bicarakan jika bertemu dengan Ibu dan keluarga barunya? Jelas, mereka semua akan datang, bukan? Atau . . . aku hanya harus berusaha untuk menghindari mereka? Toh, mereka pun tidak akan menyukai eksistensiku.
![](https://img.wattpad.com/cover/122249714-288-k947570.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...