Aku mengambil nafas lega ketika berhasil memasuki gedung sekolah, sebelum penjaga menutup gerbang dan membiarkan beberapa murid yang terlambat datang berdiri di luar. Jika sudah seperti itu, biasanya tak ada kesempatan bagi mereka yang terlambat mengikuti jam pelajaran. Datang tepat waktu adalah peraturan mutlak yang harus diikuti tanpa ada toleransi untuk alasan apapun.
Pagi ini entah bagaimana aku tidur terlalu pulas hingga tak mendengar alarm yang kupasang melalui ponsel dan alhasil baru bangun pukul 6. Ketika keluar untuk mandi, aku tak menemukan Pak Hendra beserta motornya didalam rumah, bukti kalau ia sudah berangkat tanpa membantu membangunkanku.
Dengan terengah-engah aku berjalan menuju kelas. Ketika akan melewati ruang guru, aku berhenti saat melihat Pak Hendra juga baru akan menuju kelasnya. Aku menyalaminya, meskipun dalam hati ada perasaan sedikit aneh karena melakukan hal itu saat kami sudah tinggal serumah.
"Baru datang?" tanyanya.
"Iya, Pak."
"Syukur, kamu masih bisa masuk." Nadanya terdengar meremehkan.
Aku hanya mengangguk, "Maaf, Pak saya ke kelas duluan." Aku melangkah melewatinya.
Sesampainya di dalam kelas, aku mendapati tatapan serius dari Sisyl, Frisda, Tara dan Clara. Saat aku membalas tatapan mereka, keempatnya buru-buru mengalihkan pandangan atau mengobrol. Aku melanjutkan langkahku menuju bangku, kemudian meletakkan tas di bangku bekas Jani.
"Hafh." Aku menghela nafas saat merasakan tak ada lagi orang yang menanyai tentang keterlambatanku.
Beruntung, aku tak perlu berlama-lama merasakan kehampaan karena beberapa saat kemudian sang guru pelajaran Bahasa Inggris masuk dengan membawa setumpuk kertas putih. Dengan wajah berbinar, ia mengatakan akan mengadakan kuis dadakan dan segera disambut penolakan dari para murid. Aku pun sebenarnya tidak siap, karena tidak memelajari apapun semalam selain mengerjakan tugas. Namun, guru tersebut tak peduli dan tetap dengan senyum di wajah, mulai membagikan kertas ulangan.
***
Saat bel jam istirahat berdering, aku mengikuti langkah teman-temanku yang keluar hendak menuju kantin. Dalam otakku sudah terpikirkan akan membeli semangkuk soto ayam untuk mengisi perut yang belum tersentuh makanan sejak pagi.
"Anggun."
Aku menoleh ketika namaku dipanggil seseorang dan cukup terkejut ketika orang itu adalah Tara. Aku menghampiri dirinya yang masih duduk dibangkunya, "Ya?"
"Kemarin . . ." ia terlihat ragu-ragu menyampaikan ucapannya dan malah beralih memandangi Frisda, Sisyl dan Clara yang juga sedang berada didekatnya, "kok bisa, sih lu ada disana?"
"Oh, iya . . . kemarin kita ketemu di restoran dan gua minta maaf enggak bisa nyapa kalian lebih lama." Aku berusaha tak bersikap aneh atau menunjukkan ketidaksukaanku di depan mereka karena sudah menyinggung pertemuan kami kemarin.
"Lu . . . udah berapa lama kerja disana?" Tara memberikan pertanyaan lain.
"Udah cukup lama, sih. Hampir setahun." Mereka memberikan tanggapan dengan kata 'oh', "gimana kemarin, kesan dan pesan udah datang ke restoran? Mudah-mudahan enggak diluar ekspektasi kalian." Aku berusaha lebih ramah.
"Bagus, kok. Makanannya enak, dan pelayanannya juga cepat. Mungkin yang agak kurang karena tempatnya ramai banget, tapi justru itu yang jadi alasan kita mau datang." Kali ini Clara yang membuka suara.
"Iya. Sebenarnya, kita datang ke restoran itu pun karena udah banyak nonton dan baca review dari para blogger dan pecinta kuliner. Makanya, kemarin nyoba-nyoba buat datang untuk buktiin sendiri." susul Frisda, "dan emang enggak mengecewakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...