Bel pulang sekolah telah berbunyi. Aku bersama teman-teman berjalan santai menuju gerbang sekolah. Saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba ponselku berdering. Tak mau membuat mereka menunggu, aku menyarankan teman-temanku untuk pergi lebih dahulu.
"Halo, Kenji... ada apa?" sapaku to the point.
"Nggun, pak Hendra..." dari kejauhan aku bisa mendengar kepanikan yang terhantar dari suara Kenji.
"Pak Hendra kenapa?"
"Pak Hendra dicelakain orang. Kondisinya kritis, dan kemungkinan hidupnya kecil. Lu bisa ke rumah sakit sekarang, please."
Lututku terasa lemas saat mendengar berita buruk tersebut. Detak jantung yang semula normal mulai berderap cepat ketika mendengar kecil kemungkinan Pak Hendra untuk hidup. Aku masih belum bisa membayangkan seberapa keji orang yang mencelakai guruku itu.
"Nggun? Halo, Nggun? Jawab dong, gue udah panik nih, di sini. Dia enggak ada kerabat dekat apa, Nggun? Di rumah sakit mitra kesehatan, gue sendirian."
Aku kembali fokus saat mendengar suara panic Kenji, "Gue otw ke sana. Tunggu di situ."
"Iya, cepetan deh ya. Dokter udah mulai nanya-nanya hal yang enggak gue ngerti."
"Oke."
Aku berlari secepat kilat, keluar dari bangunan sekolah. Di depan gerbang aku berpapasan kembali dengan teman-teman yang masih menunggu. Aku menyampaikan permohonan maaf dengan cepat dan menjelaskan harus segera pergi ke rumah sakit. Meski kebingungan, namun mereka tetap mengiyakan. Aku berlari secara sembarang ke jalan raya dan menghentikan sebuah taksi kosong.
Sang supir sempat mengingatkan agar aku tak berlarian di jalan raya, namun tak kuindahkan dan memintanya untuk segera ke rumah sakit. Mengetahui aku yang sedang terburu-buru, sang supir pun segera melajukan mobilnya dengan cukup cepat.
Dalam waktu 30 menit aku tiba di rumah sakit. Setelah membayar sesuai argo sekaligus memberikan tips karena sang supir mau mempercepat laju kendaraannya, aku bergegas mendatangi bagian informasi guna menanyakan ruang tempat Pak Hendra di rawat.
Sesampainya di ruang ICU, aku menemukan sosok Kenji sedang bicara dengan sang dokter. "Kenji !" aku memanggil .
"Nah, ini orang yang lebih dekat sama pasien, Dok." Kata Kenji.
Sang dokter menatapku dengan intens, dari sorot matanya ia terlihat ragu ketika melihat aku yang masih mengenakan seragam. "Anda saudara pasien?" tanyanya.
"Bukan. Saya hanya kenalan dekat si pasien." Aku mengakui secara jujur.
"Apa tak ada satupun pihak keluarga yang bisa dipanggil ke sini? Kami membutuhkan izin segera untuk mengoperasi pasien. Kondisinya sudah diambang kritis."
"Setahu saya pasien sudah enggak punya kerabat. Dia sebatang kara, apa kami saja tidak cukup?"
"Kamu bukan orang dewasa, sedangkan temanmu yang satu lagi tidak berani memberikan tanda tangan dokumen-dokumen. Jadi, kami juga tidak bisa sembarangan bertindak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...