Pagi itu aku yang baru keluar dari kamar melihat Pak Hendra tengah duduk di sofa keluarga dengan secangkir kopi di tangan. Televisi dihadapannya dinyalakan dan memutar acara berita yang membahas tentang isu politik yang sedang memanas akhir-akhir ini. Aku melipir ke area dapur untuk membuat teh hangat manis untuk menghilangkan rasa pening yang sedikit kurasakan. Kulihat jam dinding bulat yang terpasang di dinding dan telah menunjukkan pukul 7 pagi. Aku mengingatkan diri untuk segera berangkat pukul setengah 8 agar tak terburu-buru menuju restoran.
"Hari ini kamu cuma akan kerja?" tanya Pak Hendra.
Tanganku berhenti mengaduk gula dalam cairan teh saat mendengar pertanyaan pria di belakangku. Aku paham pertanyaan lain yang tersirat dalam pertanyaan yang diucapkannya. Ia sebenarnya igin tahu apa hari ini aku juga akan hadir dalam acara pernikahan Ibuku seperti aku yang datang ke dalam pernikahan Ayah.
"Kalau kamu mau hadir ke satu acara lain, dan butuh teman, saya enggak keberatan buat nemenin. Asal di kasih makan minum gratis." Lanjut pria itu.
Aku tersenyum sambil menghela nafas, "Enggak, Pak. Saya enggak akan ke mana-mana selain ke restoran." Tanganku kembali mengaduk, baru berhenti ketika merasa gula sudah larut dengan sempurna.
"Enggak apa-apa, tuh kalau enggak ke sana?"
Aku berbalik membawa cangkir beralas piring kecil menuju sofa kecil, yang terpisah dari sofa panjang yang diduduki oleh Pak Hendra.
"Enggak apa-apa. Toh, ikatan di antara kami enggak seerat itu, sampai-sampai saya harus wajib datang. Sewaktu pernikahan Ayah, juga seharusnya saya enggak perlu datang. Seorang tamu undangan biasa berhak memutuskan ingin datang atau enggak, kan?" kataku. Bibirku meniup-niup pelan teh yang menghembuskan asap putih akibat masih panas. Aku mencecap teh itu dengan hati-hati agar lidahku tak terluka akibat rasa panasnya.
Tanpa melihat secara langsung, kutahu Pak Hendra memberikan anggukan mendengar jawabanku. "Kata-katamu itu agak enggak enak didengar sih, soalnya status anak-orangtua, kan enggak bisa dihapus dengan alasan apapun.. tapi, ya itu hakmu, sih."
"Bisa." Kataku kemudian meliriknya, "untukku kasus saya, bisa seperti itu, Pak." Pak Hendra menghentikkan meminum kopinya dan membalas tatapanku, "dan udah terjadi." Aku kembali menegaskan. Pria itu tak mengatakan apapun selain mengangguk sekali. Dari rautnya dapat kubaca, nampaknya dia tidak ingin meneruskan topik yang sensitif seperti ini. "Bapak, enggak ke mana-mana hari ini? atau ada acara pergi ke luar?" aku mengganti topik.
"Kalau kamu enggak mau ke acara itu... mungkin nanti siang saya mau pergi ke rumah salah satu teman. Udah lama saya enggak kumpul-kumpul sama yang seumuran."
Aku berusaha menyembunyikan senyum dari balik pinggir cangkir saat mendengar keinginannya. Memang betul apa yang dikatakannya, pria ini perlu berkumpul dengan teman-teman yang setara dan bukan hanya menjalani kehidupan serius antara bekerja serta mengawasi aku yang tinggal di rumahnya. Dengan begitu, mungkin dia bisa lebih 'hidup' dibandingkan sekarang yang menurutku dirinya terasa seperti pribadi yang membosankan.
"Iya, saya setuju. Bapak harus sering-sering pergi ke luar."
Waktu berlalu dengan sangat cepat hari ini, seolah tak ingin membiarkanku menikmati rasa santai berlama-lama. Segera kuhabiskan teh yang telah menghangat, kemudian mencuci gelasnya. Kedua kakiku kembali ke dalam kamar untuk mengambil tas selempang.
"Saya jalan duluan, ya Pak."
"Ya, hati-hati. Pulang jangan terlambat kayak kemarin."
"Kan malam minggu, Pak. Boleh lah kalau pulang terlambat." Jawabku saat menghampiri pintu keluar.
"Jangan aji mumpung kamu. Nanti saya tungguin di depan restoran, lho."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...