Keesokan paginya, sesuai dengan janji Mbak Sonia semalam, Pak Cahyadi membukakan pintu restoran tepat pukul setengah 7. Aku berjalan cepat karena takut perkiraan waktuku mencapai gerbang sekolah meleset.
"Anggun." Panggilan pelan menghentikan langkahku. Saat melihat motor yang berhenti disampingku, aku menyadari kalau Pak Hendra lah yang memanggil. Diam-diam aku menghela nafas kesal karena bertemu lagi dengan wali kelasku itu. Entah kenapa, aku merasa seperti diikuti olehnya di waktu-waktu tertentu.
"Eh, Pak Hendra." Aku memberi respon biasa.
"Bareng Bapak aja, udah hampir jam masuk sekolah." Katanya, menawarkan.
"Enggak apa-apa, Pak. 10 menitan lagi sampai di sekolah kalau lari." Aku berniat menolak.
"Kalau lari-lari, nanti berkeringat dan bikin kamu enggak nyaman di jam pelajaran pertama. Udah cepet naik aja, enggak apa-apa." Kata Pak Hendra lagi.
Aku tak lagi memberikan penolakan karena mempertimbangkan kesopanan. Dengan terpaksa, aku duduk di belakang. "Makasih, Pak." Aku hanya melihat pria didepanku mengangguk kemudian mengemudikan motornya dengan agak cepat.
Tak sampai 5 menit, motor Pak Hendra memasuki area parker sekolah. Berpasang-pasang mata terarah pada kedatangan kami. Tak butuh lama ketika tatapan itu berganti menjadi bisik-bisik dengan senyuman yang membuatku penasaran.
"Makasih, Pak sekali lagi." Kataku, tak sabar ingin segera pergi ke kelas.
"Iya." Jawab Pak Hendra yang masih melipat jaketnya untuk dimasukkan kedalam ranselnya, " Oh iya, Nggun nanti pas jam istirahat kamu ke ruangan Bapak, ya. Ada yang mau Bapak bicarakan." Ia bicara tanpa menatap padaku.
Aku memandangnya penuh tanya, "Apa yang mau dibicarakan ya, Pak?"
Pak Hendra menatapku dengan sorot serius, "Bapak mau bicarakan soal tempat tinggal kamu dan alasan kamu pindah ke restoran semalam."
Aku terkejut mendengar pengakuannya dan semakin mengira kalau guru itu memang sengaja menguntitku. Mungkinkah setelah bertemu di restoran itu, dia mulai mengamati hingga restoran?, "Bapak tahu darimana?" bel masuk jam pertama berbunyi bersamaan dengan pertanyaanku.
"Akan kita bicarakan lagi nanti pas jam istirahat. Sekarang kamu harus ke kelas." Katanya dengan nada terdengar dingin. Aku menuruti perkataannya lalu setengah berlari memasuki area gedung sekolah. Aku mengabaikan tiap tatapan dan bisikan para murid lain yang melihat kedatanganku bersama Pak Hendra.
"Hampir terlambat." Komentar Jani menatapku dengan kedua mata menyipit, "walaupun bukan pertama kalinya, sih tapi gua ngerasa aneh aja sama perubahan jam kedatangan lu." Katanya dengan tatapan menuntut jawaban.
Aku menghempaskan tubuh ke atas bangku dan menarik nafas panjang sebelum membuangnya kembali.
"Lu disuruh nganter barang lagi ke restoran? Jam kerja lu nambah, ya?" Jani melanjutkan pertanyaan dengan nada terasa sedang curiga.
"Enggak. Sekarang, gua tinggal disana." Akhirnya aku memutuskan mengatakan hal yang sebenarnya. Aku hanya merasa tidak enak menyembunyikan sesuatu hingga kepergiannya nanti.
"Hah?! Elu? Tinggal di restoran? Maksudnya, gimana?" keterkejutan Jani sudah dapat kuperkirakan.
"Nanti aja gua ceritain."
Kudengar desisan kesal dari Jani, "Sejak kapan lu tinggal di restoran?" tanyanya lagi, "jangan-jangan yang kemarin lu bilang nganter barang ke restoran itu—barang-barang lu, ya?"
Aku mengangguk pelan, "Iya."
Jani mengenggam pergelangan tanganku dengan erat, "berarti kemarin lu bohong sama gua?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone (slow update)
General Fiction12 tahun. . . Hanya 12 tahun aku menikmati masa kebahagiaan hidup bersama kedua orangtuaku. Ketidakcocokkan berujung perceraian menjadi jurang pemisah ikatanku dengan Ibu dan Ayah. Ibu secara terang-terangan mengatakan ingin memutus ikatan...